SURABAYA – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur (Jatim) dalam riset yang dilakukan sejak 2006 hingga 2008 menemukan dalam lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur memiliki kandungan logam berat jenis Kadmium rata-rata sebesar 0,30g3 mg/L, dan Timbal sebesar 7, 2876 mg/L.
Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Wahyu Eka Setyawan, menjelaskan kandungan itu ratusan kali lebih besar di atas ambang batas aman bagi lingkungan sebagaimana Keputusan Menteri Kesehatan (Menkes) Nomor 907 tahun 2002.
Menurutnya, apa yang diberitakan sejumlah media terkait temuan logam tanah jarang (rare earth) yang terkandung dalam lumpur Lapindo, Sidoarjo, bukanlah sebuah harta kartun, melainkan sebuah kutukan.
“Framing pemberitaan menyebutkan temuan ini sebagai harta karun dan berkah tersembunyi dalam lumpur Lapindo. Tapi yang tidak disadari adalah bahwa temuan berbagai jenis logam berat dalam lumpur Lapindo telah lama menjadi kutukan bagi warga Kecamatan Porong, Tanggulangin dan Jabon,” ujarnya di Surabaya, Jumat (4/3).
Ia menambahkan, dalam riset lanjutan tahun 2016, temuan logam berat bukan hanya terdeteksi pada lumpur Lapindo saja, bahkan telah ditemukan dalam tubuh biota udang di Kali (sungai) Porong, yang merupakan tempat pembuangan lumpur Lapindo.
“Dalam riset lanjutan ditemukan bahwa dalam tubuh udang di Kali Porong, memiliki kandungan Timbal tercatat hingga 40-60 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan, dan kandungan Kadmium (Cd) 2-3 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan,” katanya.
Ditahun yang sama, kandungan Kadmium dan Timbal juga terdeteksi pada sumur warga di Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin dan Glagaharum, Kecamatan Porong. Kedua desa itu berada persis bersebelahan dengan tanggul lumpur Lapindo.
“Di sana ditemukan kandungan Timbal (Pb) 2-3 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan, dan kandungan Kadmium (Cd) hingga 2 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan,” kata dia.
“Ini mengakibatkan air sumur di sekitar semburan lumpur Lapindo tidak bisa dipakai sebagai konsumsi untuk air minum warga,” lanjutnya.
Wahyu menjelaskan, kontaminasi logam berat dalam tubuh manusia secara jangka panjang dapat mengakibatkan penurunan kualitas kesehatan.
Bahkan akumulasi Timbal di dalam darah dapat menyebabkan gangguan kronis dan akut pada ginjal, serta memicu penyakit jantung seperti hipertensi atau iskemia, sementara Kadmium dapat menyebabkan gangguan ginjal dan kekakuan paru-paru.
“Lalu apakah itu yang dimaksud dengan harta karun? Atau petaka yang coba diulang?,” ujar dia.
Harta Karun di Lumpur Lapindo
Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut ada indikasi harta karun berupa lithium dan stronsium di Lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur. Kedua bahan baku itu mendukung rencana pengembangan baterai untuk keperluan kendaraan listrik di tanah air.
Tak hanya itu, ada juga indikasi mineral lainnya yakni mineral logam tanah jarang (LTJ) atau rare earth.
Koordinator Mineral Pusat Sumber Daya Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Badan Geologi Kementerian ESDM, Moehammad Awaluddin, mengatakan berdasarkan penyelidikan umum di Lumpur Lapindo, Sidoarjo ditemukan adanya mineral kritis dengan kadar yang cukup tinggi yaitu lithium dan stronsium.
“Yang cukup tinggi dan coba sedang ditindak lanjuti adalah lihtium dan stronsium,” ujarnya.
Ia menjelaskan, indikasi temuan lithium bisa menjadi bagian dari bahan baku baterai kendaraan listrik. Sehingga mendukung program kendaraan listrik nasional. Sementara stronsium bisa digunakan untuk bahan baku kebutuhan elektronik.
“Ini baru penyelidikan umum dan tindaklanjuti dari Puslitbang Tekmira pada saat itu. Pasti dari kegiatan pengeboran masih jauh dan bornya masih bor tangan 5 meter,” kata dia.
Pihaknya saat ini fokus kepada uji ekstraksi. Bahkan, di tahun 2021 Puslitbang Tekmira sudah menindaklanjuti hal tersebut dan fokus ke logam lithium tersebuyi. Karena, metode esktraksi itu bisa dikenal saat ini dan skala lab dengan recovery yang cukup.
“Jadi, memang kita pada saat 2020 tujuan penyelidikan tidak fokus ke salah satu logam. Namun logam yang bernilai ekonomi, kita lakukan uji. Hasilnya itu mengerucut lithium dan stronsium yang cukup strategis untuk kegiatan memenuhi bahan baku materialistik tadi,” ujar dia.
Setelah melakukan ekstraksi, fokus selanjutnya adalah menindak lanjuti keekonomian dari kedua bahan baku tersebut. Adapun kelayakan ekonomi akan ditingkatkan statusnya melalui kajian-kajian lainnya, baik dari segi penambangan dan lingkungan.
“Ada 10 kajian yang kita lakukan di sana, hingga sampai tahapan apakah ini ekonomis di tambang atau tidak,” katanya.
Catatan Kebutuhan Lithium untuk Kendaraan Listrik
Kementerian ESDM mencatat, kebutuhan lithium untuk pengembangan kendaraan listrik hingga 2030 mencapai 758.693 ton. Jumlah tersebut untuk kebutuhan baterai 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit motor listrik.
Sementara catatan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marinves) unsur logam lithium berpotensi ada daerah Tikus, Bangka Belitung, Hatapang, Pegunungan Tiga Puluh, Aceh dan Sumatera dengan catatan perlu survey lebih terinci.
Minarak Group selaku Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) minyak dan gas bumi (migas) pengelola wilayah kerja migas (WK Migas) Brantas, ternyata juga tengah melakukan kajian internal dengan menyiapkan tim ahli untuk menelusuri adanya indikasi Lithium di Lumpur Lapindo.
Sekretaris Perusahaan Minarak Group, Ananda Arthaneli, menjelaskan sejauh ini pihaknya masih melakukan kajian internal atas adanya indikasi mineral logam tanah jarang di lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur.
“Untuk nanti diproduksi oleh siapa kami belum mempersiapkan itu. Namun pastinya kami akan kordinasi bersama pemerintah,” katanya.