JAKARTA – Panglima TNI, Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, mengatakan pihaknya berencana mengajukan tambahan alat utama sistem persenjataan (alutsista) kepada Kementerian Pertahanan (Kemenhan) untuk meningkatkan minimum essential force atau kekuatan pokok minimum pada periode 2020-2024.
“TNI untuk meningkatkan kesiapan Alutsista masih sesuai dengan apa yang sudah kita buat yaitu termuat pada minimum essential force yang saat ini masuk kepada pelaksanaan minimum essential force yang kedua,” ujarnya di Jakarta, Rabu (29/1/2020).
“Kita akan terus melakukan kebutuhan-kebutuhan alutsista TNI berdasarkan minimum essential force sesuai ketentuan yang ada,” Hadi menambahkan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya telah mewanti-wanti agar anggaran Kementerian Pertahanan 2020 sebesar Rp127 triliun dimaksimalkan untuk penggunaan utama sistem persenjataan TNI.
Berdasarkan data APBN 2020, anggaran untuk Kemenhan mencapai Rp131,2 triliun. Jumlah tersebut naik Rp 21,6 triliun dibanding anggaran tahun lalu.
Sebelumnya, peneliti senior Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Imparsial, Anton Aliabbas, mengatakan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dinilai kurang perhatian terhadap modernisasi alat utama sistem persenjataan (Alutsista) yang dimiliki TNI saat ini.
Pihaknya tak memungkiri adanya kenaikan anggaran pertahanan yang cukup signifikan. Misalnya, pada tahun 2014 catatan kami itu ada Rp86 triliun, sementara tahun 2019 ini tercatat Rp108 triliun.
“Artinya lebih dari 25 persen naiknya dari awal sampai sekarang. Bahkan tahun depan diprediksi mencapai Rp127 triliun,” ujarnya di Jakarta, Jumat (18/10/2019).
Meski demikian, ketika anggarannya sudah naik tidak ada arah yang jelas bagaimana di era Jokowi untuk melakukan modernisasi alutsista.
Ia menyebutkan ada ada tiga komponen dalam anggaran pertahanan. Pertama, adalah anggaran rutin, gaji dan lain-lain; kedua adalah anggaran belanja barang mencakup penggunaan barang dan lain-lain; ketiga belanja modal, terkait pembelanjaan alutsista.
“Kalau saya mencoba membandingkan, Pak SBY pada tahun 2013-2014 itu sangat terlihat, bahwa anggaran rutin memang selalu menjadi pos pertama. Perbedaannya antara Jokowi dan SBY adalah di era Pak SBY anggaran pembelanjaan modal itu menjadi nomor dua terbesar. Jadi pada tahun 2013, anggaran rutinnya ada di Rp33,5 triliun di anggaran modalnya ada di Rp25,7 triliun,” jelasnya.
“Sementara di era Jokowi saat ini, ketika ada lonjakan anggaran yang cukup tinggi dan signifikan, namun sayangnya anggaran belanja modal menjadi komponen nomor 3,” sambungnya.
Ia menambahkan, dari catatan yang dimilikinya tahun 2018 justru sangat rendah terkait belanja modal, karena di tahun sebelumnya di 2017 sekitar Rp33,4 triliun dan di tahun 2018 justru cuma setengahnya Rp19,1 triliun.
“Itu jadi problem utama, kami melihat pertama bahwa ada lonjakan anggaran pertahanan yang cukup signifikan, tapi tidak ada konsep, tidak ada panduan, visi yang jelas sehingga tidak ada arah,” katanya.