JAKARTA – Kehadiran kapal-kapal asing baik kapal niaga ataupun kapal pemerintah negara asing yang melintas, presentase kepadatan kapal maupun alur pelayaran yang digunakan dalam kondisi stabil. Hal itu tandanya bahwa keamanan dan kepercayaan internasional tetap terjaga, bahwa Laut Natuna Utara dalam keadaan kondusif.
Demikian diungkapkan Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut (Kadispenal), Laksamana Pertama Julius Widjojono, di Jakarta, Selasa (17/1/2023).
Kadispenal mengatakan, cuaca di sekitar perairan Laut Natuna Utara terjadi angin kencang dan gelombang tinggi sehingga kewaspadaan terhadap terjadinya kerawanan juga bertambah.
TNI AL sepanjang tahun menggelar operasi dengan mengerahkan minimal sebanyak empat KRI untuk melaksanakan pengamanan, penegakan hukum dan kedaulatan di wilayah tersebut.
“Mengenai kehadiran kapal-kapal pemerintah negara asing selalu ada dan mereka melaksanakan Lintas Damai/Freedom Navigation di perairan ZEE Indonesia,” ujarnya.
Ia menjelaskan, TNI AL terus melakukan penindakan hukum di perairan tersebut jika ada yang terbukti melakukan pelanggaran sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Sebelumnya, Reuters melaporkan TNI AL telah mengerahkan kapal perang ke Laut Natuna Utara untuk memantau kapal penjaga pantai Cina yang berlayar di sekitar Laut Natuna Utara pada Sabtu, 14 Januari 2023.
Data pelacakan kapal menunjukkan kapal CCG 5901 telah berlayar di Laut Natuna, khususnya di dekat ladang gas Blok Tuna dan ladang minyak dan gas Chim Sao Vietnam sejak 30 Desember.
Sebuah kapal perang, pesawat patroli maritim, dan drone telah dikerahkan untuk memantau kapal tersebut, kata Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Muhammad Ali kepada Reuters.
“Kapal Cina itu tidak melakukan aktivitas yang mencurigakan. Namun perlu kita pantau karena sudah lama berada di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia,” kata dia.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) memberikan hak navigasi kapal melalui ZEE. Kegiatan tersebut dilakukan setelah adanya kesepakatan ZEE antara Indonesia dan Vietnam, dan persetujuan dari Indonesia untuk mengembangkan lapangan gas Tuna di Laut Natuna, dengan perkiraan total investasi lebih dari US$ 3 miliar hingga dimulainya produksi.
Pada 2021 kapal-kapal dari Indonesia dan Cina saling berhadapan selama berbulan-bulan di dekat anjungan minyak di blok Tuna. Saat itu, Cina mendesak Indonesia untuk menghentikan pengeboran dengan mengatakan aktivitas tersebut terjadi di wilayahnya.
Pemerintah Indonesia mengatakan berdasarkan UNCLOS, ujung selatan Laut Cina Selatan adalah zona ekonomi eksklusif Indonesia dan menamai wilayah itu sebagai Laut Natuna Utara pada 2017.
Cina menolak klaim dengan mengatakan wilayah maritim berada dalam klaim teritorialnya yang luas di Laut Cina Selatan yang ditandai dengan “nine dash line” berbentuk U, sebuah batas klaim Cina yang menurut Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag tidak memiliki dasar hukum pada 2016.