JAKARTA – Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI, Marsekal Muda Agung Handoko, mengatakan penetapan tersangka dua prajurit aktif TNI oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi di lingkungan Basarnas, telah menyalahi ketentuan.
Dua prajurit yang dimaksud yakni Kabasarnas RI periode 2021-2023, Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto.
“Jadi menurut kami apa yang dilakukan KPK menetapkan personel militer sebagai tersangka menyalahi ketentuan,” ujarnya di Jakarta, Jumat (28/7/2023).
Menurut Agung, untuk anggota TNI aktif, yang berwenang menetapkan sebagai tersangka adalah polisi militer bukan penyidik KPK.
“Jadi pada intinya, kita saling menghormati. Kita punya aturan masing masing. TNI punya aturan, dari pihak KPK, baik itu hukum umum, punya aturan juga,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI, Laksamana Muda Kresno Buntoro menjelaskan setiap tindak pidana yang dilakukan oleh militer, prajurit aktif, tunduk pada UU 31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Selain itu juga tunduk pada UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Jadi pada intinya tidak ada prajurit TNI yang kebal hukum. Semua tunduk pada aturan hukum,” katanya.
Di dalam pasal 69 UU Peradilan Militer, dijelaskan penyidik adalah atasan yang berhak menghukum (ankum), polisi militer dan oditur.
Sementara penyidikan dijelaskan sebagai serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka.
Pasal 71 ayat 1 UU itu mengatur sejumlah kewenangan penyidik di antaranya menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana, mencari keterangan dan barang bukti hingga melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat-surat hingga penahanan.
“Yang melakukan penahanan itu ada tiga. Pertama adalah Ankum, atasan yang berhak menghukum. Kedua adalah Polisi Militer. Ketiga adalah Oditur Militer. Jadi selain tiga ini, itu tidak punya kewenangan melakukan penangkapan dan penahanan,” kata dia.
Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan sebanyak lima tersangka terkait kasus dugaan korupsi suap menyuap pada pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan Tahun Anggaran 2023 di Basarnas RI.
Para tersangka yakni Kabasarnas RI periode 2021-2023 Henri Alfiandi; Anggota TNI AU sekaligus Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto; Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil.
Henri bersama dan melalui Afri Budi diduga menerima suap dari beberapa proyek di Basarnas tahun 2021 hingga 2023 sejumlah sekitar Rp88,3 miliar dari berbagai vendor pemenang proyek.
Belakangan, Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak meminta maaf kepada rombongan Puspom TNI atas polemik penanganan kasus tersebut. Johanis menyatakan terdapat kekhilafan dari tim penyelidik saat melakukan OTT.
Mengacu kepada Undang-undang, Johanis menjelaskan lembaga peradilan terdiri dari empat yakni militer, umum, agama dan Tata Usaha Negara (TUN). Ia mengatakan peradilan militer khusus untuk anggota militer, sedangkan peradilan umum untuk sipil.
“Ketika ada melibatkan militer, maka sipil harus menyerahkan kepada militer,” ujar Johanis.
“Di sini ada kekeliruan, kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan. Oleh karena itu, kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI, atas kekhilafan ini kami mohon dimaafkan,” lanjutnya.