JAKARTA – Usulan pencabutan larangan berbisnis bagi anggota TNI jelas itu merupakan sebuah bentuk indikasi kemunduran dari reformasi TNI.
Demikian dikatakan Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Universitas Paramadina, Anton Aliabbas, di Jakarta, Rabu (17/7/2024).
Menurut Anton, jika melakukan kilas balik dalam proses perumusan UU TNI, gagasan soal melarang atau membolehkan TNI berbisnis memang menjadi perdebatan.
Dalam pembahasan RUU TNI pada 2004 silam, DPR dan pemerintah sepakat memutuskan melarang militer berbisnis dengan harapan mereka profesional mengurus tugas pertahanan dan menjaga kedaulatan.
Baca Juga: Kinerja BNPT RI, Aksi Terorisme Terus Menurun
“Jelas ketika negara ingin membentuk TNI yang professional, maka salah satunya indikasinya adalah negara mengambil alih semua bisnis militer, baik yang langsung maupun tidak langsung,” katanya.
“Dengan kata lain negara ingin menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara yang utama,” sambung Anton.
Diberitakan, TNI mengusulkan supaya prajurit aktif diperbolehkan terlibat dalam kegiatan bisnis lewat revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Berdasarkan Pasal 39 huruf c UU TNI, prajurit aktif dilarang terlibat kegiatan bisnis. Untuk itu, TNI mengusulkan agar pasal tersebut dihapus.
Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI, Laksamana Muda Kresno Buntoro, beralasan bahwa seharusnya yang dilarang berkegiatan bisnis adalah institusi TNI, bukan prajurit TNI.
“Kita sarankan ini (Pasal 39 UU TNI huruf c dibuang, mestinya yang dilarang adalah institusi TNI untuk berbisnis. Tapi kalau prajurit, orang mau buka warung aja endak (enggak boleh),” ujar Kresno dikutip dari Youtube Kemenko Polhukam.