Wakapolri: Lima Tahun Terakhir, Kampus Jadi Incaran Kelompok Radikal Terorisme

Kabar Mabes6 Dilihat

JAKARTA – Memasuki tahun ajaran baru, dunia pendidikan khususnya tingkat Perguruan Tinggi, harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap  intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.

Terutama yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi yang didasarkan pada pemahaman agama yang salah. 

Demikian dikatakan Wakapolri, Komjen Pol Gatot Eddy Pramono, di Jakarta, Sabtu (13/8).

“Dalam lima tahun terakhir ini saja, dunia pendidikan kita, khususnya kampus, masih menjadi incaran utama kelompok radikal-terorisme,” ujarnya.

Berdasarkan catatan Global Terrorism Index 2022, kata Gatot Eddy, sepanjang tahun 2021, terdapat 5.226 aksi terorisme di seluruh dunia. Korban meninggal dunia yang berjatuhan akibat aksi tersebut mencapai 7.142 jiwa.

Dari jumlah itu, tidak sedikit adalah anak-anak, perempuan, dan golongan usia renta. Hal ini menunjukkan bahwa teroris adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan gerakan keagamaan.

Baca Lagi: Ketum PBMA: Pancasila itu Mengacu pada Beberapa Ayat Al-Quran

Di Indonesia, data yang dimiliki oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiterori terkait aksi terorisme dan penangkapan terhadap pelakunya juga menunjukkan angka yang tinggi. 

Fenomena ini, lanjut Gatot Eddy, tidak bisa dilepaskan dari penyebaran paham dan gerakan radikalisme dan intoleransi yang utamanya, menyasar kalangan anak-anak muda, termasuk dengan masuk ke wilayah pendidikan.

Proses infiltrasi paham dan gerakan radikal dan ekstremisme masuk dengan berbagai cara, mulai dari menyusup di kegiatan-kegiatan keagamaan (CISForm, 2018), masjid-masjid kampus (INFID, 2018), dan persebaran buku-buku (PPIM, 2018).

Pola penyebarannya pun tidak lagi dilakukan hanya melalui medium dakwah dan forum-forum halaqah, tetapi sudah merambah ke media sosial (cyber space) dan jalur-jalur pertemanan.

“Sebagaimana dilaporkan PPIM (2020), 24,89 persen mahasiswa Indonesia terindikasi memiliki sikap intoleran. Dari sumber lain, Alvara Research (2020) melaporkan bahwa 23,4 persen mahasiswa dan pelajar Indonesia mengaku anti-Pancasila dan malah pro-khilafah. Data-data ini tentu mengkhawatirkan, tetapi bukan berarti tidak bisa kita kalahkan,” katanya.

Penanggulangan Radikal Terorisme di Kampus Harus Diprioritaskan

Oleh sebab itu, penanggulangan radikalisme dan terorisme di kalangan perguruan tinggi harus diprioritaskan, karena berpotensi besar menghancurkan bukan saja negara, tetapi kemanusiaan dan peradaban.

Untuk itu, Polri serius membangun kerja sama dengan universitas-universitas di Indonesia untuk melawan segala bentuk ajaran dan gerakan kekerasan. 

Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kesiapsiagaan nasional, masifikasi program kontra-ideologi, deradikalisasi, netralisasi media, serta netralisasi situasi.

Menurut Gatot, kampus juga harus tegas soal regulasi anti-radikalisme di internal masing-masing. Hal ini diwujudkan salah satunya dengan kesepakatan bersama untuk selalu patuh dan menjunjung tinggi empat komitmen dasar negara, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

Selain itu, kampus juga harus selalu memastikan materi pembelajaran mengandung pandangan keagamaan moderat dan bernuansa wawasan kebangsaan.

“Hanya dengan komitmen dan kebersamaan, kita dapat bersama-sama mengalahkan paham dan gerakan kekerasan,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar