JAKARTA – Persaingan para pihak yang berkontestasi dalam Pemilu 2024 dapat dimanfaatkan jaringan atau kelompok teroris untuk menjalankan agendanya. Karena itu, Pemilu 2024 tidak lepas dari ancaman terorisme.
Hal tersebut terungkap dalam seminar daring bertajuk ”Perspektif Keamanan: Menjelang Pemilu 2024”, Selasa (16/1/2024), yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI bersama Centinel dan Serve Indonesia.
Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT RI, Ibnu Suhaendra, mengatakan hingga kini, organisasi teroris global seperti Al-Qaeda dan ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah/NIIS) masih berpengaruh. Sebagaimana ditunjukkan dengan masih adanya serangan teror yang terjadi di Timur Tengah dan beberapa negara di Afrika.
Di dalam negeri, Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) juga masih aktif. Bahkan JAD hingga saat ini masih menyebarkan propaganda di ruang siber, sedangkan JI mempertahankan eksistensinya melalui kegiatan kemasyarakatan serta pengumpulan dana, baik secara daring maupun luring.
Terkait politik, menurut Ibnu, kelompok teroris terindikasi mengubah strateginya dengan masuk ke kancah politik melalui partai politik agar dapat memberikan pengaruh dalam legislatif di Indonesia. Salah satu contohnya, Farid Ahmad Okbah, Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI) yang merupakan salah satu tokoh JI.
Demikian pula Pemilu 2024 tidak lepas dari ancaman terorisme. Indikasi itu terlihat saat pada Oktober 2023, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap puluhan orang dari kelompok Abu Omar yang berencana melakukan serangan untuk mengganggu Pemilu 2024.
”Kelompok ini berencana melakukan serangan kota. Sasarannya adalah berbagai markas polisi di berbagai wilayah Jakarta,” kata Ibnu.
Kepala Satuan Tugas Wilayah DKI Jakarta Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, Komisaris Besar Dhany Arie Fianto, mengatakan Abu Omar telah keluar dari penjara pada 2022.
Menurut dia, Abu mengelabui aparat dengan mengonsolidasikan pengikutnya yang tersebar di sejumlah daerah. Di berbagai tempat, Abu Omar membentuk halaqoh atau kelompok-kelompok kecil yang digunakan sebagai tempat untuk memperdalam pemahaman sekaligus menyeleksi pengikutnya yang setia dan mau melakukan apa saja. Bagi Abu, dia tidak memerlukan pengikut dalam jumlah besar, tetapi tim kecil untuk menjalankan rencananya.
”Ada tim survei untuk perencanaan. Itu sudah dijalankan. Ada (kelompok) yang mau menyerang KPU (Komisi Pemilihan Umum), ada yang mau menyerang kantor polisi. Ada yang siap dengan senjata, ada yang mau bom bunuh diri,” kata Dhany.
Meski demikian, target sesungguhnya dari aksi teror yang akan dilakukan hanya diketahui Abu Omar dan selalu diputuskan mendadak atau beberapa hari sebelum aksi. Hal itu untuk menghindari pantauan aparat keamanan.
Salah satu aksi teror Abu Omar adalah pelemparan bom terhadap Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo di Makassar pada 2012.
Peristiwa itu memperlihatkan bahwa target yang disasar kelompok Abu Omar adalah politisi. ”Apa potensi konflik terbesar, dalam kacamata terorisme, yang kelompok teror bisa lakukan? Yaitu membunuh terhadap salah satu capres/cawapres. Itu yang paling bisa memobilisasi para pendukungnya untuk marah,” kata Dhany.
Dhany menekankan adanya simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan, antara penggunaan kekerasan dengan kepentingan politik praktis. Situasi konflik dalam politik rupanya dapat dimanfaatkan oleh jaringan teroris untuk kepentingan mereka.
Selain kejadian pelemparan bom terhadap Syahrul Yasin Limpo di tengah bergulirnya Pemilihan Kepala Daerah Sulawesi Selatan 2013, contoh lainnya, peletakan tiga bom di tiga lokasi saat debat Pemilihan Presiden 2019.
Oleh karena itu, untuk mengamankan Pemilu 2024 dari ancaman teror, Densus 88 Antiteror Polri sejak dua tahun yang lalu, telah memantau jaringan teroris beserta dinamika tahapan pemilu dan politik yang terjadi di dalam negeri. Hal itu mesti dilakukan karena dinamika politik dapat memengaruhi jaringan teroris untuk menjalankan aksinya.
Kerawanan dalam tahapan pemilu akibat ancaman teror berpotensi terjadi pada saat kampanye dan pada saat pemungutan suara. Kerawanan juga terjadi pada saat sidang sengketa pemilu dan ketika terjadi unjuk rasa. Sebab, terdapat indikasi adanya kelompok teroris yang menyiapkan kelompok untuk menunggangi demo yang berlangsung anarkistis.
”Lalu (kami) juga menyikapi potensi keterikatan antara pelaku politik praktis dengan kelompok teror. Namun, kami harus hati-hati di sini karena bisa saja kami disebut itu hanya interpretasi,” ujarnya.
Meski sepanjang 2023 tidak terjadi aksi teror, menurut Dhany, ancaman teror pada Pemilu 2024 tetap ada. Untuk itu, pihaknya berharap agar politisi turut meminimalkan terjadinya konflik di masyarakat, termasuk tidak menggerakkan massa pendukung untuk dibenturkan dengan pendukung lainnya. Masyarakat pun diharapkan mengawal proses Pemilu 2024 untuk meminimalkan potensi terjadinya ketidakadilan dalam pelaksanaan pemilu.
Dalam seminar tersebut, kandidat doktor dari Australian National University, Nava Nuraniyah, menyampaikan peran organisasi Islamis terhadap pemilu serta kekerasan yang dilakukan pendukung kelompok Islamis yang dinilai tidak lagi segencar pada Pemilu 2019.
Menurut Nava, Pemilu 2019 merupakan puncak pengaruh kelompok Islamis terhadap pemilu sejak Pemilu 1955 dengan terjadinya pembelahan identitas yang masif.
Namun, menjelang Pemilu 2024, tokoh-tokoh kelompok Islamis berhati-hati dan cenderung tenang dalam menyatakan dukungannya kepada sosok calon presiden tertentu. Sejalan dengan itu, politik identitas juga dinilai jauh berkurang.
”Jadi,ancaman keamanan tidak terlalu besar dan isu polarisasi moderat,” ujar Nava.