CIREBON – Yayasan Satu Keadilan bersama Search for Common Ground Indonesia mendorong pemerintah daerah di Cirebon, Jawa Barat, untuk membuat kebijakan rehabilitasi dan reintegrasi bagi mantan narapidana terorisme (Napiter). Kebijakan yang melibatkan berbagai pihak itu dapat mencegah residivis kasus terorisme.
Program Manager Harmoni Search for Common Ground Indonesia, Faisal Magrie, mengatakan, pemerintah telah menerbitkan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) Berbasis Kekerasan yang Mengarah Tahun 2023.
Regulasi tersebut mengatur soal rehabilitasi dan reintegrasi (R dan R) eks narapidana terorisme.
”R dan R ini mencakup semua elemen masyarakat, dari pemerintah, akademisi, sampai organisasi masyarakat sipil,” ujarnya pada kegiatan Cirebon Bersatu Melawan Terorisme, di Cirebon, Kamis (11/5/2023).
Dalam acara itu, pihaknya juga menyerahkan kertas kebijakan R dan R mantan narapidana terorisme kepada perwakilan pemda Cirebon.
Kertas kebijakan itu merupakan pedoman bagi pemda dan masyarakat dalam mendukung program R dan R.
Rehabilitasi merupakan proses terencana untuk mengubah pola pikir dan perilaku mantan narapidana terorisme agar tidak lagi melakukan kekerasan. Adapun reintegrasi adalah serangkaian proses mengembalikan mereka ke masyarakat.
”Kami berharap dokumen ini jadi modal pembentukan kebijakan R dan R oleh pemda. Kebijakan ini bisa dibilang belum pernah ada di wilayah Cirebon,” ujar Faisal.
Kertas kebijakan itu juga dapat menjadi panduan teknis berdasarkan RAN PE 2023 dan Rencana Aksi Daerah Jabar terkait pencegahan ekstremisme, radikalisme, dan terorisme.
Kebijakan R dan R, lanjutnya, penting untuk membantu mantan narapidana terorisme tidak terjebak dalam jaringan terorisme sekaligus menyiapkan warga agar menerima mereka kembali dalam masyarakat.
Selama ini, mantan narapidana terorisme kerap mendapat stigma buruk sehingga menyulitkan reintegrasi. Kondisi ini dapat melahirkan residivis kasus terorisme.
Peristiwa bom bunuh diri di Markas Kepolisian Sektor Astanaanyar, Kota Bandung, Jabar, beberapa waktu lalu, misalnya, melibatkan residivis terorisme Agus Sujarno. Hal serupa berpotensi muncul di Cirebon.
Apalagi, menurut Faisal, Cirebon jadi ”zona merah” terorisme. Sejumlah pelaku terorisme berasal dari daerah tersebut.
Penyusun kertas kebijakan, Ismail Hasani, mengatakan, pemda di Cirebon perlu membuat peraturan bupati atau wali kota yang mencakup program R dan R.
Dengan regulasi itu, berbagai instansi pemerintah hingga dunia usaha dapat berkolaborasi.
”Perlu dibentuk satuan tugas yang melibatkan banyak pihak,” katanya.
Sekretaris Yayasan Satu Keadilan, Syamsul Alam, menambahkan, sebelum penyusunan kertas kebijakan, pihaknya telah menggelar empat pelatihan R dan R kepada perwakilan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, hingga mahasiswa.
”Total 112 orang yang ikut pelatihan. Kami juga beberapa kali bertemu dengan pemda,” kata dia.
Sementara, Staf Ahli Wali Kota Cirebon Bidang Hukum dan Politik, Agus Suherman, mengapresiasi kertas kebijakan yang disusun masyarakat sipil terkait R dan R.
”Salah satu persoalan mantan napiter adalah stigma yang bisa membuat mereka jadi residivis. Kami berharap mereka mendapat hak-haknya. Kami akan tindak lanjuti kertas kebijakan ini,” katanya.
Senada, Kepala Bidang Kewaspadaan Nasional dan Penanganan Konflik Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Cirebon, Dicky Purnama, menyambut baik kertas kebijakan terkait R dan R.
”Kami akan berkomitmen mendorong rehabilitasi dan reintegrasi untuk mantan napiter, termasuk keluarganya,” katanya.