PADANG – Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Lemhanas (IKAL) RI, Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar, geram atas isu-isu intoleransi dan radikalisme yang sering menerpa Sumatera Barat. Terlebih sejak pasca pemilihan presiden (Pilpres) 2014, berlanjut pada Pilpres 2019 hingga sekarang.
“Saya mendengar itu, sedikit mengusik telinga ini. Katanya Sumatera Barat terkenal intoleran dan radikalisme,” ujarnya dalam Dialog Kebangsaan di Kota Padang, Jumat (25/11/2022).
Menurutnya, tuduhan kepada masyarakat Sumbar itu sengaja dikembangkan pihak tertentu yang tak bertanggungjawab. Tujuannya untuk memecah-belah persatuan bangsa Indonesia yang semakin subur saat ini.
Ia menambahkan, isu-isu tuduhan negatif ke masyarakat Sumbar tidak benar adanya. Karenanya mewanti-wanti agar lebih waspada segala hal yang bisa memecah-belah bangsa dan Tanah Air dengan adu domba.
Terlebih, baginya Sumbar ialah gudangnya pemimpin bangsa sejak negara Indonesia berdiri. Terbukti banyak pahlawan nasional yang berdarah Minangkabau. Mulai dari Bung Hatta, KH Agus Salim, Natsir, Syafruddin Prawiranega, dan lainnya.
Ia menjelaskan, radikalisme ialah sikap berpikir dan tindakan yang ingin mengganti Pancasila dengan paham lain. Tetapi sikap radikal tidak boleh identikkan dengan Islam seperti ‘gorengan’ selama ini.
“Saya Islam. Saya tidak suka, tidak mau, tidak rela dikatakan radikal, karena di pikiran saya tidak ada keinginan untuk mengganti Pancasila,” katanya.
Selain itu, untuk isu intoleransi ditujukan ke masyarakat Sumbar, dia menebak kemungkinan ada kaitannya dengan hasil Pemilu 2019. Pasalnya, Presiden Joko Widodo yang terpilih sangat minim mendapat dukungan suara dari masyarakat Sumbar.
“Kalau intoleran, mungkin, mungkin karena Pemilu yang lalu, hasilnya di Sumbar ini tak lebih 20 persen ya yang memberi dukungan kepada Pak Jokowi. Mungkin karena itu,” kata dia.
Padahal, perbedaan ialah sebuah keniscayaan dan hal yang sangat wajar terjadi selaku negara demokrasi. Dengan begitu, masyarakat Indonesia harus lebih dewasa dalam berpikir, bersikap, memilih, dan menerima perbedaan.
“Ada dua pasangan, satu milih A satu milih B itu wajar. Tapi yang tidak wajar itu, kalau memilih 100 persen si A, itu tidak wajar,” ujarnya.
Kendati begitu, perbedaan memilih sifatnya sementara. Dalam artian, perbedaan memilih harus berakhir ketika Pilpres atau Pemilu selesai, dan menghormati segala keputusan demokrasi yang ditetapkan.
“Skarang masyarakat Sumbar juga telah menghormati keputusan demokrasi, mengakui Pak Jokowi Presiden,” katanya.