JAKARTA – Generasi muda harus dilindungi dari paparan radikalisme dan terorisme. Pasalnya, tidak hanya merusak masa depan anak muda, radikalisme dan terorisme juga mengancam persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penguatan narasi kebangsaan, kedamaian, dan keagamaan yang benar harus terus diberikan kepada anak muda, agar mereka memiliki imunitas dan kemampuan melawan paham-paham kekerasan itu.
Karena itu keberadaan duta damai dunia maya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadi solusi dalam menyebarkan pesan-pesan persatuan, perdamaian, toleransi, dalam rangka mencegah anak muda terpapar radikalisme dan terorisme.
“Kerja-kerja narasi super penting, apalagi anak muda seperti duta damai dunia maya ini. Saya kira hal paling penting mereka bisa bikin konten yang bisa related dengan anak-anak seumuran mereka,” ujar pakar terorisme, Noor Huda Ismail, saat menjadi pemateri di Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Duta Damai Dunia Maya BNPT 2022 di Jakarta, Rabu (28/12/2022) malam.
Dengan demikian, lanjut Noor Huda, para remaja bisa paham karena hari ini radikalisasi banyak terjadi di level online. Ia menilai, kalau konten-konten itu yang bikin muda, tentu mereka bisa paham.
Noor Huda adalah orang dibalik layar pembuatan konten-konten narasi terkait terorisme melalui film pendek dan buku. Beberapa film pendeknya antara Jihad Selfie, Cross Fire, dan Kecewa Karena Bapak Menjadi Teroris yang kemarin disaksikan para Duta Damai Dunia Maya BNPT.
Dalam film-filmnya ia melibatkan langsung para pelaku aksi terorisme. Salah satunya adalan Munir Kartono di Film Kecewa Karena Bapak. Munir pernah empat tahun hidup di penjara akibat telribat pendana terorisme kasus bom Mapolres Surakarta.
Noor Huda mengungkapkapkan, ia sengaja melibatkan pelaku terorisme dalam konten-kontennya agar film-film realitable dari pengakuan pelaku sehingga orang akan lebih percaya.
“Karena merekalah yang pernah bagian dari kelompok ini (teroris). Mereka tahu telah dibohongi oleh kelompok lama, jadi mereka punya energi untuk melawan narasi-narasi lama mereka. Kita di luar yang paham dengan komunikasi sehingga narasinya betul-betul mengena. Jadi enak ditonton,” katanya.
Dari film-film itu, kata founder Yayasan Prasasti Perdamaian mengungkapkan bahwa virus-virus radikalisme dan terorisme merasuki seseorang tidak hanya dari jalur agama, tetapi bisa dari masalah sosial lainnya.
Contohnya Munir Kartono, ia teradikalisasi berawal dari masalah keluarga yang tidak terselesaikan sehingga ia mencari jalan keluar di luar rumah. Dari sanalah ia bersentuhan dengan radikalisme yang membawanya berkawan dengan tokoh ISIS Indonesia, Bahrun Naim. Bahkan Munir dan Bahrun Naim membicarakan rencana aksi terorisme sambil bermain biliar.
“Ada banyak cara pintu masuknya, gak hanya pengajian bahkan main biliar saja bisa jadi (teroris). Kecewa dengan keluarga juga bisa jadi. Untuk itulah semua pihak harus terlibat dalam mencegah penyebaran radikalisme dan terorisme ini. Kalau ambil istilah BNPT, berbagai sektor harus terlibat. Di konteks media damai, anak-anak muda Duta Damai Dunia Maya ini sangat penting,” kata dia.
Dengan keberadaan Duta Damai Dunia Maya BNPTdi 18 Provinsi ini, Noor Huda berharap mereka bisa mengungkapkan berbagai jenis radikalisme berbeda yang muncul di berbagai provinsi. Itu penting agar masyarakat tahu bahwa radikalisme itu tidak hanya berbasis agama saja, tetapi juga bermacam-macam penyebabnya.
“Saya senang ada teman-teman dari Ambon, Papua. Saya harapkan mereka bisa bikin konten tentang jenis radikalisme yang tidak melalu karena Islam saja,” kata dia.
Sementara itu, Munir Kartono juga memberikan testimoni tentang proses radikalisasinya. Menurutnya, proses itu begitu panjang berawal dari permasalahan keluarga yang berlarut-larut. Masalah itu memancing ia untuk mencari identitas di luar rumah, bahkan di jalanan, sampai akhirnya ia teradikalisasi.
“Itu semua terjadi di luar rumah, lewat pergaulan. Kemudian saya sampai menemukan jaringan teroris semua di luar rumah. Tapi kembali itu semua berawal dari satu masalah yang tidak selesai,” tuturnya.
Saat kali pertama mencari identitas di luar rumah, jelas Munir, ia ketemu dengan anak-anak funk. Tapi anak-anak funk ini tidak seperti anak funk kebanyakan yang hobinya main musik dengan dandanan dekil. Anak funk yang ditemui adalah mereka yang membuka lapak-lapal perpustakaan jalanan gratis. Dimana bacaan-bacaan itu menarik bentuk-bentuk perlawanan terhadap idealism feodal, bentuk-bentuk nilai nilai kolot, termasuk tidak sesuai dengan negara Indonesia.
“Saya pertama pergi di bogor, kemudian saya main ke Bandung. Sampai hari ini kelompok-kelompok ini masih eksis. Nah setelah itu saya bersama kelompok funk tadi, saya sampai satu titik membenci pada negara. Saya mulai tertarik dengan masalah agama, saya mencari kelompok yang mempunyai narasi agama tapi punya nilai perlawanan terhadap negara. Saya kemudian bergabung dengan HTI. Itu titik ketemunya,” urainya.
Di HTI pulalah, Munir mengaku bertemu Bahrun Naim yang kebetulan seusia, seprofesi, dan memiliki hobi sama yaitu mengelola Warnet.
“Kita sama-sama jadi klop, ketemu. Kadang saya datang ke Solo, main biliar bareng sampai akhirnya cari duit untuk kelompok-kelompok teroris bareng,” kata Munir.
Munir menambahkan, ia melakukan pendanaan teror dengan cara membobol Paypal. Dari situ dana dialirkan ke crypto currency berupa Bitcoin. Saat itu tahun 2012, kebetulan grafik Bitcoin sedang meningkat tajam.
Dari dana yang dibelikan Bitcoin, ungkapnya, saat dijual selisih nilainya sangat tinggi. Dana itulah yang dialirkan ke Bahrun Naim, yang kemudian di-spread kemana-mana seperti pemberangkatan orang-orang ke Suriah, melakukan aksi bom di Indonesia, termasuk pembiayaan kepada keluarga yang melakukan teror bom.
“Bom Mapolres Kartasura, dananya dari saya. Saat itu, Bahrun Naim minta mencarikan dana karena memang saat itu pelaku sudah ingin melakukan. Saya carikan dananya sehingga terjadi bom di Mapolres Surakarta tahun 2016,” jelasnya.
Kini Munir mengaku sudah ‘sembuh’ total setelah menjalani hukuman selama empat tahun di Lapas Purwakarta dan Lapas Khusus Sentul. Ia menceritakan prosesnya saat ia berikrar setia kembali ke NKRI di Lapas Purwakarta. Setelah itu, ia mengajukan diri untuk dibina lebih lanjut di Pusat Deradikalisasi (Pusderad) BNPT di Sentul.
“Alhamadulillah dari BNPT menyambut saya, akhirnya saya dipindahkan ke Pusderad. Di sana saya dibina dengan berbagai macam pelatihan, kemudian di dalam saya bertemu banyak akademisi dan diajarkan berbacam macam hal sehingga akhrnya semakin sadar bahwa yang telah saya lakukan salah dan saya harus berbuat lebih baik lagi untu keluarga dan masa depan kita bersama, Indonesia,” tutur Munir.
Ia mengatakan bahwa saat ini potensi kerentanan radikalisasi terbesar ada di anak muda dari milenial sampai generasi Z. Apalagi permasalahannya ternyata tidak melulu ideologi, tapi bisa dari masalah kecil yang tidak terselesaikan.
“Karena itu teman-teman Duta Damai Dunia Maya harus bisa lebih aware, melihat teman sekeliling mereka dan mengajak tidak melakukan aksi-aksi yang pasti akan jadi penyesalan mereka nantinya. Apalagi aksi-aksi yang menjurus kekerasan, apalagi terorisme,” ujarnya.
“Kedepannya Duta Damai supaya lebih kreatif lagi dengan terobosan dan sesuatu yang baru dalam menyebarkan konten perdamaian dan persatuan,” harapnya.