JAKARTA – Infiltrasi brutalisme dan radikalisme kepada anak tidak bisa sepenuhnya menyalahkan keberadaan media sosial (medsos) dengan segala keterbukaan dan aliran informasinya. Namun peran orang tua menjadi vital dalam menjaga agar anak mampu memiliki sikap kritis dan cerdas dalam penggunaan media digital.
Demikian dikatakan Psikolog Anak dan Keluarga, Maharani Ardi Putri, di Jakarta, Sabtu (21/1/2023).
“Kalau kita menyalahkan medsos itu sulit, pertumbuhan media sosial sendiri juga tidak bisa kita hentikan. Karena itu sebetulnya yang harusnya mengakselerasi adalah kita sendiri sebagai orang tua,” ujarnya.
Penting bagi orang tua untuk mengakselerasi pengetahuannya serta perlu memahami strategi penggunaan medsos, guna menjaga dan mengawasi anak-anak dari penyalahgunaan informasi di dunia maya yang nyatanya mampu membentuk karakter mengerikan anak yang impulsive, brutal, dan radikal.
“Prinsipnya begini, kita tidak bisa mencegah informasi yang masuk, tapi kita bisa memberikan bekal pada anak-anak kita untuk bersikap lebih kritis dan bertanggung jawab. Kita harus jadi orang tua yang menyediakan tempat pulang buat anak-anak. Jadi jangan sampai anak-anak itu takut untuk cerita dengan orang tuanya apapun resikonya,” ujar dia.
Tidak hanya melatih anak-anak dengan sikap kritis dan tanggungjawab. Putri menambahkan, pendidikan moral, agama, dan kemampuan anak untuk mempertahankan prinsip serta keberaniannya juga perlu ditanamkan secara konkrit oleh orang tua sebagai lingkungan terdekat anak.
“Orang tua pun harus belajar banyak agar anak juga terbuka (pikirannya). Orang tua juga harus aware kalau banyak orang yang mau ‘nangkep’ anak-anak kita. Maksudnya selalu ada kelompok atau wadah yang memang menunggu anak-anak ini untuk datang ke mereka dan menerima mereka (anak-anak),” katanya.
Putri menjelaskan banyak faktor yang mempengaruhi masuknya ideologi kekerasan pada anak, salah satunya kemiskinan dan pengaruh tumbuh kembang remaja yang belum matang, baik secara kognitif maupun mental. Sehingga, kemampuan anak dalam mempertimbangkan resiko, dinilai menjadi tidak holistik dan cenderung bertindak impulsive.
Pertimbangan-pertimbangan terhadap resiko dan konsekuensi, menjadi tidak lengkap. Sehingga anak kadang-kadang seperti mengabaikan resiko-resiko yang bisa terjadi. Ditambah lagi pendidikan moral, pengetahuan aturan hukum, bahkan benar salah juga sangat minim.
Hal-hal diatas menurutnya juga tidak semata-mata menjadi tanggungjawab lingkungan sekitar dan keluarga khususnya orang tua. Lebih jauh lagi, Putri menilai bahwa dalam hal ini juga harus objektif melihat bagaimana upaya sistem pemerintahan yang ada dalam rangka melindungi anak-anak bangsa.
“Tentu bukan hanya orang tua yang bertanggung jawab, kita perlu lagi melihat sistem pemerintahan kita dalam melindungi anak-anak kita. Bagaimana sistem yang ada terkait penyaringan informasi serta situs illegal. Yang kita hadapi ini kan sesuatu yang sangat global, dan tidak bisa dilawan perorangan, harus dengan kebijakan dan kerjasama semua pihak,” katanya.
Masyarakat juga tidak bisa selamanya menyalahkan medsos karena memberikan informasi yang tidak mendidik. Tetapi bagaimana semua pihak bekerjasama membahas persoalan dunia digital dengan serius, mengedukasi anak bangsa guna membuahkan perubahan yang besar.
“Kita tidak bisa hanya komplain, tetapi harus melakukan sesuatu bersama-sama,” kata dia.