JAKARTA – Perubahan kebiasaan manusia era modern dalam cara berkomunikasi berpengaruh terhadap pembentukan persepsi masyarakat.
Saat ini, persepsi terhadap kebenaran bukan tergantung dari seberapa terujinya suatu substansi, namun lebih kepada bias personal dan popularitas semata. Apalagi menyangkut informasi berjubah agama, yang bisa membuat seseorang bisa teradikalisasi.
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, menjelaskan dalam mencari dan mencerna suatu informasi, perilaku manusia zaman modern cenderung mengambil informasi hanya dari sumber yang membenarkan apa yang telah diyakininya.
Dalam dunia psikologi, bias kognitif ini sering disebut dengan motivated reasoning atau confirmation bias.
“Ketika kita mencari informasi, kita cenderung sudah punya pemahaman, cara pandang, atau stigma tertentu, lalu kita mencari informasi untuk membenarkan pemahaman atau cara pandang kita tadi,” ujarnya di Jakarta, Rabu (2/8/2023).
“Hal ini terjadi bahkan sebelum adanya media sosial. Dengan adanya media sosial, kecenderungan terjadinya bias kognitif itu menjadi lebih kuat lagi,” lanjut dia.
Dirinya menjelaskan, keadaan seperti ini diperparah dengan munculnya algoritma dalam layanan mesin pencarian atau search engine seperti Google atau Bing.
Sebagai contoh, penggemar klub bola Arsenal, maka kalau nge-klik Arsenal, seluruh informasinya itu yang berkaitan dengan klub Arsenal saja. Klub bola lain seperti Manchester United jelas tidak akan muncul.
“Dalam cara memahami ajaran agama tertentu, kalau kita sudah meng-klik, misalnya al-wala wal bara’, istilah, atau acara tertentu yang didorong oleh kelompok pro kekerasan, cenderung kita akan hanya menerima informasi yang sama,” katanya.
Menurut dia, dunia akademis biasanya ini disebut dengan filter bubble. Dimaan seseorang membuat bubble atau ruang sendiri berdasarkan dari filter atau pencarian yang dilakukan.
“Inilah fenomena saat ini yang mengakibatkan polarisasi, yang berhaluan kanan jadi kanan banget, yang kiri jadi kiri banget, haluan tengah menjadi kosong,” kata dia.
Ia menambahkan, pentingnya mencari sumber informasi pembanding dari apa yang sudah diyakini. Perlu mengadopsi tradisi berpikir kritis, untuk bisa membedakan bahwa apa yang di internet belum tentu semuanya benar.
Kemampuan membandingkan suatu informasi dengan hal yang sama, namun dari sumber dan perspektif yang berbeda menjadi penting.
Menurutnya, tren medium yang digunakan serta kecenderungan cara berkomunikasi masyarakat dunia memang telah berubah.
Sekarang itu percakapan baru ada tiap detiknya, dan komunikasi serba cepat saat ini dianggap sebagai sebuah kebenaran. Masyarakat di seluruh dunia cenderung tidak melihat mana yang benar, tapi justru mana yang viral.
“Kalau nggak viral dia tidak diperhatikan, tapi yang follower-nya banyak justru diperhatikan. Ini adalah jenis kebenaran baru, maka dalam dunia akademisi fenomena ini disebut sebagai ‘the death of expert,’ kematian para pakar. Sebagai contoh, yang bisa mendapatkan beasiswa ke luar negeri, kredibilitasnya bisa kalah oleh selebgram seperti Atta Halilintar di mata masyarakat saat ini,” ujar dia.
Ia menyoroti pentingnya belajar teknologi sebagai suatu kenyataan yang tak terelakkan. Ini berlaku mulai dari masyarakat lapisan terbawah, hingga para pejabat yang memegang kendali.
Ketika di suatu negara para pemangku kepentingannya tidak memahami perkembangan teknologi, tentu akan berdampak buruk terhadap kebijakan atau keputusan yang diambil.
“Keharusan memahami perkembangan teknologi adalah pekerjaan rumah bagi semuanya. Teknologi ini kan semuanya harus belajar,” kata dia.
Jika tidak, kata Noor Huda, pasti akan ketinggalan zaman. Contohnya, ketika CEO TikTok dipanggil oleh Kongres Amerika Serikat untuk melakukan hearing (sesi tanya jawab) di muka publik. Anggota parlemen Amerika Serikat dikira sebagai sekumpulan orang dengan intelektual di atas rata-rata, justru melempar pertanyaan-pertanyaan yang tak paham terkait teknologi informasi.
“Ini akibatnya jika pemangku kepentingan tidak tanggap terhadap perkembangan teknologi,” katanya.
Untuk itu, Noor Huda pun berpesan agar masyarakat jangan percaya pada satu guru atau sumber saja, tapi harus bisa dan mau melihat dari berbagai macam sumber.
Masyarakat juga harus menggunakan akal sehat untuk bisa memilih dan memilah informasi. Kemudian dalam membagikan informasi, prinsipnya think before you share atau saring sebelum sharing.
“Saya pikir ini skill yang penting, karena apa yang kita lihat di media sosial itu belum tentu kebenaran. Seberapa terlihat viral atau penting suatu informasi itu sebenarnya bisa diciptakan atau direkayasa selama ada dananya,” ujar dia.