JAKARTA – Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengevaluasi juga harus dilakukan terhadap perwira Polri yang ditempatkan di sejumlah kementerian atau lembaga. Tidak hanya terhadap perwira TNI aktif saja.
“Hanya saja evaluasi itu harus berimbang, yang dinilai kinerja tidak maksimal dari TNI sebagai institusi yang menjalankan fungsi pertahanan, juga harus dilakukan kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang juga melakukan fungsi-fungsi lain,” ujarnya di Jakarta, Rabu (2/8/2023).
Menurut dia, tugas dua lembaga tersebut adalah menjaga pertahanan dan keamanan negara. Hal itu tertuang dalam Pasal 30 ayat 2 UUD 1945.
“Jika TNI dan kepolisian dipaksa menjalankan fungsi-fungsi lain, yang disebut sebagai dwifungsi atau multifungsi, hanya akan membuat TNI dan Kepolisian kita terjebak kepada tindakan-tindakan yang tidak profesional,” katanya.
Hal senada, pengamat militer dan pertahanan Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menjelaskan secara normatif, dwifungsi memang sudah dihapus seiring reformasi dan berlakunya UU 34/2004 tentang TNI.
Namun, kehadiran prajurit TNI dalam urusan sipil tak sepenuhnya dapat ditiadakan. Ada sejumlah urusan pemerintahan yang masih memerlukan kehadiran prajurit.
“Kalau memperhatikan sejarah pembentukan UU TNI, khususnya Pasal 47, pasal itu hadir dalam rangka memberi batasan yang jelas mengenai penempatan prajurit pada jabatan sipil. Ayat 1 tegas menyatakan prajurit tidak boleh memegang jabatan sipil kecuali dia mengundurkan diri atau pensiun,” kata Fahmi.
Fahmi menyebut Pasal 47 ayat (2) lalu memberi afirmasi. Ada sejumlah kementerian/lembaga yang dibolehkan untuk diisi prajurit aktif. Namun, dirinya menyayangkan kecenderungan yang terjadi dalam satu dekade terakhir.
Menurutnya, ada sejumlah prajurit menduduki berbagai jabatan yang belum diatur dalam UU 34/2004. Bahkan urusan maupun kewenangannya tidak beririsan atau berkaitan dengan tugas, fungsi TNI.
Meskipun, kata Fahmi, penempatan itu sebagian besar justru berasal dari permintaan menteri atau pimpinan lembaga yang kemudian disetujui oleh pimpinan TNI.
“Selama ini, pemerintah seolah tutup mata. Pemerintah jelas telah membiarkan praktik yang mengabaikan ketentuan undang-undang itu berlangsung di berbagai kementerian dan lembaga,” katanya.
Oleh sebab itu, Fahmi mengapresiasi jika kini Presiden Jokowi sudah menyadari pentingnya evaluasi penempatan perwira TNI di jabatan sipil. Menurutnya, evaluasi harus dilakukan secara komprehensif.
“Inventarisir permasalahannya, mana yang sesuai ketentuan dan mana yang tidak sesuai. Untuk yang tidak sesuai, petakan lagi mana yang relevan dengan tugas dan fungsi TNI, mana yang tidak, termasuk cermati juga apakah nomenklatur jabatan itu memiliki urgensi atau hanya diada-adakan,” katanya.
Fahmi berpendapat evaluasi terhadap kehadiran personel Polri di kementerian/lembaga juga harus dilakukan.
Ia mengatakan sesuai perundang-undangan, Polri sudah dinyatakan sebagai perangkat sipil negara dan tunduk pada hukum sipil.
“Perlu evaluasi serupa pada penempatan personel Polri di sejumlah kementerian/lembaga yang urusan dan kewenangannya tidak relevan, tidak berkaitan/beririsan dengan tugas dan fungsi Polri,” ujarnya.
Fahmi bahkan berpendapat evaluasi terhadap penempatan personel Polri sangat mendesak dilakukan lantaran tidak ada ketentuan yang mengaturnya.
“Polri memang sudah dianggap sebagai bagian dari perangkat sipil, namun apakah hal yang tepat dan bijak jika karena itu kemudian penempatan mereka menjadi lebih mudah dan longgar?,” kata dia.
“Jika tidak ada aturan yang membatasi dan mengendalikan, bukan tidak mungkin penempatan yang tidak terkendali justru berekses pada pembinaan karir pegawai di lingkungan kementerian/lembaga yang dimasuki,” lanjutnya mengakhiri.