JAKARTA – Sosok perempuan memiliki peran penting dalam menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat. Perempuan tidak boleh dipandang hanya sebagai ibu rumah tangga, melainkan memiliki peran penting dalam mencetak generasi bangsa.
Dalam konteks pencegahan pemahaman intoleran dan radikalisme yang mengarah kepada terorisme, peran perempuan menjadi sangat krusial dalam menentukan pola pikir keluarga.
Aktivis Perdamaian, HAM dan Perempuan, Dwi Rubiyanti Kholifah, mengatakan seorang ibu memiliki kuasa otoritatif dalam membentuk karakter dan konstruksi berpikir sang anak.
Selain itu, ibu memiliki emosional kuat dengan anak-anak karena dia dilahirkan dari rahimnya. Maka, ibu sangat bisa mempengaruhi anaknya untuk tidak terlibat di dalam ekstrimisme.
Menurut Ruby hal inilah yang perlu dijaga. Jangan sampai peran otoritatif orang tua disalahgunakan untuk memaksa atau mengajak anak dalam berbuat hal yang menyalahi aturan. Keluarga Dita, pelaku Bom Surabaya tahun 2018 merupakan salah satu potret pelaku teroris yang mengajak keluarganya untuk ‘beramaliyah’.
“Perempuan sangat bisa dan otoritatif untuk menggeret anak-anak mereka terlibat di dalam terorisme. Laki-laki biasanya kalau terlibat itu sendirian aja tapi kalau perempuan terlibat di aksi teror mereka ngajak anaknya,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (2/9/2023).
“Bayangkan kalau para ibu dan anak-anaknya terlibat aksi-aksi begini, tentu semakin mengerikan nasib bangsa,” lanjutnya.
Menurut Ruby, sejatinya dalam penanganan konflik maupun pencegahan radikal terorisme, kaum perempuan juga perlu dilibatkan. Meski masih ada yang menganggap sebelah mata, namun perempuan dinilai memiliki naluri tersendiri dalam mendeteksi dini perubahan sosial di lingkungannya.
Menurut perwakilan Asian Muslim Action Network (AMAN) di Indonesia ini, satu dari 100 wanita berprestasi di dunia versi BBC (British Broadcasting Corporation) tahun 2014 ini, kaum ibu dapat memberikan data dan fakta karena terlibat dalam banyak hal di lingkungannya.
Misalnya mengurus posyandu, lansia, anak anak, kebersihan dan aktivitas lainnya. Jika ada sesuatu hal yang tidak wajar, para ibu-ibu dapat memberikan rekomendasi untuk mengambil keputusan dalam konteks menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungannya.
“Ketika ada fenomena di mana ada sekelompok orang mempengaruhi dengan cara-cara tertentu menjauhkan dari nilai-nilai di masyarakat yang guyub saling membantu dan sebagainya itu menjadi eksklusif, nah itu biasanya perempuan sangat tahu,” kata Ruby.
Untuk membangun kemampuan tersebut, maka dibutuhkan pembelajaran dan peningkatan keahlian bagi perempuan. Salah satunya adalah membangun cara pikir atau berpikir kritis.
Hal ini berhubungan dengan kemampuan memahami hak, dan kemampuan menganalisa. Sehingga, seorang perempuan peka terhadap sekitar, mampu mengindentifikasi dan menyelesaikan konflik. Jangan sampai perempuan tersebut malah menjadi eskalator konflik itu sendiri.
“Kita bekali mereka tentang teknik berdialog, teknik mediasi agar kalau ada persoalan di tingkat keluarga maupun tetangga mereka berani untuk melakukan dialog,” kata Ruby.
Oleh karena itu, menurut Ruby, baik sosok ayah maupun ibu sama-sama menjadi pilar keluarga dalam membangun keluarga yang inklusif dan toleran. Tanggung jawab membentuk karakter, pola pikir dan tingkah laku tidak bisa di bebankan pada satu orang saja.
Orang tua dituntut untuk bekerja sama untuk dapat memastikan bahwa keluarga itu dalam kondisi yang aman keluarga memiliki lingkungan yang sehat untuk bertumbuh dan terbuka, sehingga apapun yang terjadi kepada anggota keluarga itu bisa dideteksi lebih dini.
“Kalau perspektif orang tua tidak punya perspektif bahwa bernegara ini adalah ber-NKRI maka akan sulit dia akan digoyahkan dengan ideologi-ideologi yang mengarah kepada melawan negara. Ini bahaya banget,” tekan Ruby.
Maka dari itu, Ruby menyatakan pentingnya membangun wawasan kebangsaan kepada orang tua, menanamkankan jiwa persatuan, dan kebhinekaan yang menjadi identitas bangsa untuk diwariskan kepada anak-anaknya. Komunikasi antar keluarga menjadi kunci untuk berbagi peran dalam membangun karakter anak-anak bangsa menuju Indonesia Emas 2045.
“Semua warga negara Indonesia punya kewajiban yang sama. Nah caranya yang mungkin beda-beda. Karena caranya mungkin berbeda, bukan berarti satu lebih tinggi daripada yang lain kewajibannya, enggak. Tetap keduanya memiliki kewajiban yang setara,” kata Ruby.