Begini Penjelasan BNPT RI Soal Radikalisme

Nasional902 Dilihat

DEPOK – Radikalisme merupakan salah satu paham atau ideologi yang menginginkan terjadinya perubahan tatanan sosial, politik, dan ideologi yang sudah menjadi konsensus di suatu negara.

Demikian dikatakan Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI, Brigjen Polisi R Achmad Nurwakhid, pada podcast Observasi Harian Radar Depok, dikutip dari laman radardepok.com, Jumat (8/3/2024).

Nurwakhid menjelaskan, Negara Indonesia sudah memiliki konsensus nasional yaitu Pancasila, Bineka Tunggal Ika, NKRI dan Undang-Undang Dasar 1945.

“Radikalisme itu, kegiatan untuk merubah ideologi suatu negara yang sudah ditetapkan, dengan cara-cara kekerasan ataupun dengan cara-cara ekstrim,” ujarnya.

Menurut dia, radikalisme inilah yang menjiwai semua aksi terorisme di seluruh negara. Sehingga, aksi terorisme bukan tujuan sebenarnya. Namun, hanya dijadikan salah satu alat propaganda untuk mencapai tujuan tertentu.

“Tujuannya dari kelompok-kelompok radikalisme itu adalah gerakan politik kekuasaan, yang menginginkan perubahan tatanan sosial, Dengan cara-cara ekstrim ataupun dengan cara-cara kekerasan,” kata dia.

Nurwakhid menjelaskan, bukan hanya sekadar kekerasan fisik untuk menjadikan kelompok ekstrim. Maka dari itu, definisi terorisme di dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pindahan terorisme.

“Disebutkan bahwa terorisme adalah tindakan atau perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Jadi kekerasannya tidak hanya fisik, tapi juga bisa verbal atau non fisik,” katanya.

Kekerasan verbal, kata Nurwakhid, berupa kata-kata, ancaman, dan lain sebagainya, yang menimbulkan suasana teror dan membuat rasa takut secara masif, meluas di tengah masyarakat.

“Apalagi dengan menimbulkan korban jiwa, kerusakan dan atau kehancuran terhadap fasilitas umum, fasilitas lingkungan hidup, obyek-obyek vital, fasilitas internasional,” ujar dia.

Dengan menggunakan motifnya ideologi, politik, ataupun gangguan keamanan. Menurut dia, BNPT harus mematahkan seluruh motif tersebut dengan berbagai upaya yang ada, salah satunya dengan deradikalisasi.

Gerakan Politik Atas Nama Agama, Salah Satu Cara Aksi Radikalisme

Nurwakhid mengatakan, berdasarkan perspektif atau terminologi asing, ekstremisme dalam konteks bangsa Indonesia dibagi menjadi tiga jenis. Yaitu, radikalisme atau ekstremisme kanan yang mengatasnamakan agama, apapun agamanya, radikalisme atau ekstremisme kiri atau sering disebut ekki dan yang mengatasnamakan komunisme, maksisme atau leninisme.

Menurut dia, gerakan politik yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan kekuasaan ini merupakan salah satu cara yang sering dipakai dalam aksi radikalisme.

“Dalam konteks Indonesia, semua ekstrem tadi pernah terjadi dan menjadi teroris. Contoh, ekstrem kiri yang mengatasnamakan PKI atau komunisme. Dulu ada pemberontakan Di 30 SPKI tahun 1965. Bahkan sebelumnya, pemberontakan PKI Madion,” katanya.

Nurwakhid menjelaskan, yang terjadi saat ini adalah yang di alami di Papua, yaitu permasalahan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

“Jika ekrtrem kanan, itu yang paling sering. Seperti pemberontakan DITII, Kartos Wirjo. Yang ingin mendirikannegara Islam Indonesia atau NII. Nah, kalau untuk radikalisme mengatasnamakan agama atau ekstrem kanan yang di Indonesia, sekarang genealoginya semua dari NII,” ujar dia.

Hal yang harus dipahami masyarakat, kata Nurwakhid, radikalisme atau ekstremisme bisa dianalogikan itu merupakan ibarat virus. Virus ideologi ini berpotensi bisa memapar berbagai unsur masyarakat. Tidak melihat suku, ras, agama, jabatan, profesi, bahkan tidak melihat kadar intelektualitas seseorang.

“Seorang Jenderal, seorang profesor, seorang ulama sekalipun. Kalau terpapar virus Ideologi radikal ini, dijamin dia nggak akan bisa berpikir secara substansial. Tidak akan bisa melihat secara spiritual,” katanya.

Saat ini, ada beberapa kelompok masyarakat yang selalu mengembangkan persepsi ketidakadilan kepada pemerintah.

“Ini sebenarnya benar-benar virus itu ada, ini yang sering disebut virus takfiri, yaitu adalah adalah paham dengan mengkafirkan orang lain yang berbeda,” kata dia.

Nurwakhid menuturkan, saat ini tidak hanya yang beda agama. Bahkan sesama agama, hanya beda mazhab, beda paham pun saling mengkafirkan.

“Jadi, orang itu orang yang berpaham takfiri, yang cenderung mengkafirkan orang lain yang berbeda itu hatinya tertutup,” katanya.

Oleh karena itu, ia mengajak Pemerintah Kota (Pemkot) dan warga Depok untuk mencegah dengan berbagai upaya dalam mencegah penyebaran paham radikal terorisme.

“Hal ini tentunya dalam rangka membangun kewaspadaan dini terhadap penyebaran paham radikal,” ujarnya mengakhiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *