SURABAYA – Baru-baru ini, kelompok Jamaah Islamiyah (JI) menyatakan telah membubarkan diri. Namun, pertanyaannya adalah apakah ini benar-benar akhir dari kelompok teror tersebut atau hanya manuver untuk bergerak di bawah permukaan?
Muhammad Saifuddin Umar (Abu Fida), salah satu mantan pentolan JI mengatakan, sebagai seorang Muslim, umat diajari untuk menilai sesuatu berdasarkan yang tampak. Dia menambahkan, hanya Allah yang mengetahui segala perkara yang tidak tampak secara lahiriah.
“Kita sebagai seorang muslim hanya mampu membaca secara zahirnya (yang tampak/lahiriahnya). Nabi Muhammad mengajari kita untuk menilai orang, komunitas, atau apapun kelompoknya itu dengan apa yang tampak atau bisa dilihat mata. Jadi secara batin atau niat dari seseorang, hanya Allah yang mau tahu,” ujarnya di Surabaya, Kamis (11/7/2024).
Publik tentu paham bahwa JI (Jamaah Islamiyah) dikenal sebagai kelompok yang berpaham ekstrem dan menghalalkan kekerasan. Kelompok ini telah terbukti terlibat pada peristiwa Bom Bali I dan II, serta serangkaian teror bom pada akhir tahun 1990-an sampai awal 2000-an.
Baca Juga: BNPT RI Komitmen Lindungi Perempuan dan Anak dari Terorisme
Menurut Abu Fida, orang yang memiliki pemahaman atau ideologi yang sarat dengan kekerasan tentu butuh proses yang berkesinambungan untuk membuatnya menjadi normal dan terbuka pada perbedaan.
Ia percaya, menghilangkan pemahaman berbahaya ini memerlukan kerjasama dengan berbagai pihak. Salah satunya dengan melibatkan masyarakat untuk memperjuangkan keadilan dan kebersamaan, sehingga lingkungan tempat tinggal bisa menerima kembali para mantan napiter, serta kehidupan bermasyarakat bisa berjalan dengan sediakala.
Selain itu, mantan napiter juga perlu membentuk kesadaran diri tentang pentingnya toleransi dan moderasi beragama melalui banyak berdiskusi dan berdialog, untuk menemukan kebenaran sejati.
Ini semua dilakukan agar mantan napiter tidak kembali terjebak pada pola kekerasan sebelumnya yang hanya menjadikan agama sebagai pembenaran atas agenda atau tindakan brutalnya.
Mengulas perubahan pola pergerakan terorisme di Indonesia, Abu Fida mengatakan sebenarnya jauh sebelum belakangan ini tersiar kabar bahwa JI dibubarkan, sudah ada banyak napiter yang terafiliasi dengan JI menyatakan insyaf.
“Bahwa tahun 2023 bisa dikatakan sebagai zero attack of terrorism atau tidak adanya serangan teroris. Ini bisa dianggap sebagai implikasi dari pembubaran JI, yang sebenarnya sudah beberapa kali terjadi penangkapan terhadap anggotanya, dan ikrar setia pada NKRI yang diucapkan oleh mantan anggota JI seperti Siska Nur Azizah,” jelasnya.
Abu Fida menekankan pentingnya rekontekstualisasi atau penafsiran ulang ayat-ayat perintah berjihad dalam ajaran Islam, agar sesuai dengan semangat NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Baca Lagi: Napiter Lapas Kediri Dinyatakan Bebas Bersyarat
“Rekontekstualisasi Ini penting untuk merawat kebhinekaan di Indonesia, sehingga ayat-ayat jihad tidak dimaknai dengan kondisi yang tidak sesuai kenyataan,” katanya.
Pemelintiran tafsir dalil agama seringkali disebabkan oleh seseorang yang tertekan atau dipolitisasi oleh pihak tertentu. Menurut Abu Fida, penafsiran firman Allah dan sabda Rasulullah harus dikembalikan kepada ulama-ulama yang kompeten.
“Sebagai manusia, kita hanya mampu menilai yang terlihat dan hanya Allah yang mengetahui yang tidak terlihat. Indonesia dengan segala kebhinekaannya harus terus dirawat dan dijaga dengan segenap kekuatan bangsa, termasuk umat Islam. Sinergi semua pihak dalam mencapai ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kunci untuk mewujudkan Indonesia yang damai dan harmonis,” jelas Abu Fida.
Mengakhiri penjelasannya, Abu Fida berpesan agar melalui pendekatan yang holistik, melibatkan seluruh stakeholders, serta rekontekstualisasi ayat-ayat jihad, pasti akan dapat merawat kebhinekaan dan menjaga Indonesia dari ancaman radikalisme dan terorisme.
“Komitmen ikrar setia pada NKRI oleh mantan pelaku teror seperti Siska Nur Azizah adalah langkah positif yang perlu didukung oleh seluruh elemen masyarakat,” katanya.
1 komentar