Mendalami Esensi Dakwah: Dari Kebaikan hingga Toleransi dalam Beragama

Nasional, Ragam785 Dilihat

JAKARTA – Dakwah keagamaan seringkali disalahpahami di masyarakat Indonesia, di mana terdapat anggapan bahwa kegiatan ini harus berujung pada konversi keimanan. Pandangan ini dianggap menyempitkan esensi dan tujuan utama dakwah, yang seharusnya fokus pada ajakan untuk berbuat baik dan saling mengingatkan akan kemungkaran.

Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI), Moch. Syarif Hidayatullah, menekankan bahwa inti dari dakwah adalah mengajak kepada kebaikan, sebagaimana diungkapkan dalam Al-Imran ayat 104.

Dalam pandangannya, dakwah bukanlah tentang memaksakan orang untuk berpindah agama, melainkan mengajak masyarakat untuk hidup dalam kebaikan dan saling menghormati.

Baca Juga: Membangun Sekolah Damai: Pelatihan Guru untuk Melawan Radikalisme di NTB

“Rasulullah SAW adalah contoh terbaik dalam hal ini. Beliau hidup harmonis dengan pemeluk agama lain tanpa adanya paksaan,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (10/10/2024).

Syarif juga menyoroti pemaksaan konversi di masa peperangan, seperti pada Fathul Makkah, di mana Rasulullah tidak memaksa warga Makkah untuk masuk Islam.

“Siapa pun yang tidak keluar rumah, dia akan aman,” tegasnya,  menunjukkan bahwa dakwah seharusnya berjalan tanpa paksaan.

 

Peran Dai dalam Masyarakat

Dai atau penceramah seharusnya memiliki kedalaman ilmu agama untuk menyampaikan dakwah yang konstruktif.

Syarif menjelaskan, kualitas materi dakwah sangat tergantung pada kemampuan penceramah. ADDAI telah mengedepankan kaderisasi dai yang mampu menyampaikan pesan dakwah secara damai, menentramkan, dan memberikan solusi bagi permasalahan masyarakat.

“Dai seharusnya berkontribusi menjaga keutuhan NKRI dan memberikan ruang dialog dengan berbagai kelompok, termasuk yang berbeda agama,” katanya. Poin ini menyoroti pentingnya dakwah yang mencerminkan toleransi terhadap perbedaan, tanpa mengabaikan prinsip akidah.

Baca Lagi: Kerja Sama Indonesia-Rusia: Expert Meeting untuk Memperkuat Keamanan Internasional

Dalam konteks Indonesia yang beragam, Syarif mengingatkan pentingnya memahami semboyan Bhineka Tunggal Ika.

“Kita harus mampu menerima perbedaan sikap, cara pandang, dan gaya hidup,” ujarnya.

Menurut dia, dakwah yang baik adalah yang mempromosikan moderasi dan membawa masyarakat untuk berkolaborasi meskipun memiliki perbedaan.

“Peristiwa Piagam Madinah menjadi contoh bagaimana perbedaan dapat disatukan melalui komitmen untuk hidup berdampingan,” pungkas Syarif, mengajak semua elemen masyarakat untuk menyikapi perbedaan dengan bijak.

Oleh karena itu, dakwah seharusnya menjadi sarana untuk menyebarkan kebaikan dan memperkuat toleransi di tengah keragaman masyarakat. Dengan memahami esensi dakwah, diharapkan dapat tercipta harmoni dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar