Mewujudkan Sekolah Damai: Upaya Bersama Melawan Intoleransi dan Bullying di Papua Barat

Nasional808 Dilihat

MANOKWARI – Lingkungan sekolah merupakan fondasi penting dalam pendidikan anak. Tidak hanya sebagai tempat belajar, namun juga sebagai ruang bagi siswa untuk mengembangkan karakter dan nilai-nilai sosial.

Sayangnya, tantangan seperti intoleransi, kekerasan, dan bullying masih menghantui banyak sekolah di Indonesia. Pada 13 November 2024, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI menyelenggarakan acara pelatihan guru di SMK Negeri 2 Manokwari, Papua Barat, untuk menanggulangi masalah ini, menggandeng hampir 100 guru dari berbagai sekolah di daerah tersebut.

Kasubdit Kontra Propaganda BNPT RI, Kolonel Cpl. Hendro Wicaksono, dalam sambutannya menekankan pentingnya menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman.

Mengacu pada data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat peningkatan kasus bullying di Indonesia, dengan 3.800 kasus tercatat pada 2023, dibandingkan dengan hanya 226 kasus pada 2022.

Bentuk bullying yang paling umum terdiri dari bullying fisik (55,5%), verbal (29,3%), dan psikologis (15,2%). Khususnya, siswa SD menjadi korban terbesar dengan 26%, diikuti oleh siswa SMP dan SMA.

Baca Juga: Menghadapi Ancaman Radikalisasi: Pentingnya Edukasi dan Penerapan Hukum di Indonesia

Hal ini menunjukkan bahwa perundungan bukan hanya masalah individu, tetapi juga ancaman bagi kualitas pendidikan dan perkembangan karakter anak.

Peran Guru dalam Menciptakan Lingkungan Belajar yang Aman

Guru memiliki peran penting dalam membentuk lingkungan belajar yang kondusif. Hendro mengingatkan bahwa guru bukan hanya pendidik akademis, tetapi juga panutan moral bagi siswa.

Di era sekarang, tantangan yang dihadapi oleh guru menjadi semakin kompleks. Banyak orang tua yang melindungi anak mereka dari hukuman yang dianggap tidak adil, sehingga guru merasa tertekan dan ragu untuk mengambil tindakan yang diperlukan.

Pelatihan guru yang diselenggarakan oleh BNPT ini, merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kapasitas guru dalam menghadapi masalah intoleransi dan bullying.

Dengan pemahaman yang lebih baik tentang pola-pola perilaku tersebut, diharapkan guru dapat lebih proaktif dalam menciptakan suasana sekolah yang penuh toleransi.

Abdul Fatah, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua Barat, menekankan bahwa terorisme dan intoleransi adalah ancaman nyata yang harus dihadapi bersama.

Dia mengajak semua pihak, termasuk orang tua dan masyarakat, untuk berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.

“Kita selaku pemerintah ataupun selaku kalangan sekolah, satuan Pendidikan, kalangan guru harus bersatu memerangi terorisme. Dan para guru harus memahami dan mengenali ciri cirinya jika hal itu ada pada siswa di lingkungan sekolahnya,’ ujar Abdul Fatah.

Menurutnya, kegiatan-kegiatan yang digagas BNPT seperti ini tentunya ini akan berdampak sangat positif. Karena bagaimanapun guru ini sebagai penyambung lidah, dimana guru ini yang berhadapan langsung dengan anak-anak dan guru inilah yang lebih tahu tentang karakter anak.

“Oleh karena itu seperti yang sudah sering saya sampaikan bahwa guru itu harus ada di garda paling depan. Janganlah kita pernah menyerah pada kondisi anak, tetapi kita harus selalu memberikan atensi kepada anak-anak, sehingga anak-anak ini nantinya akan memiliki nilai-nilai karakter yang akan membangun bangsa dan negara ini,” jelasnya.

Ia mengakui kalau di era sekarang ini berbeda dengan era jaman dahulu saat dirinya pernah menjadi guru. Dimana selama ini ada beberapa kendala yang dialami para guru dalam mendidik anak yang membuat guru ini sepertinya tidak terlalu maksimal di dalam hal pembinaan karakter anak.

Karena dengan adanya pelatihan ini, para guru harus bisa lebih memahami pola pola intoleransi, radikalisme dan terorisme agar tidak menyebar di lingkungan sekolah.

Dirinya berharap pelatihan seperti ini tidak hanya dilakukan di ibukota provinsi semata, tetapi kegiatan seperti ini sebenarnya juga harus dilakukan di tingkat Kabupaten.

“Mohon selanjutnya hal hal seperti ini kedepan bisa dilaksanakan di Kabupaten agar dapat dihadiri kepala Dinas Pendidikan di tingkat Kabupaten juga. Ini agar para guru di tingkat kabupaten dapat memahami masalah tiga dosa besar yang ada di dunia Pendidikan,” kata Abdul Fatah mengakhiri.

Tak Ada Sekolah yang Mengajarkan Radikalisme dan Terorisme

Sementara itu narasumber yang hadir, Akademisi dari Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, Muhammad Abdullah Darraz, mengatakan tidak ada satupun sekolah yang mengajarkan radikalisme dan terorisme, tetapi sekolah harus waspada dan menjadi cure bagi siswa yang terpapar.

“Karena apabila kita berhasil melakukan pencegahan, maka akan menjadikan peluang Indonesia ke depan menjadi negara yang harmoni. Tentunya semua pihak di lingkungan sekolah harus bersama-sama untuk meningkatkan kewaspadaan agar anak-anak bisa mencegah dari paham-paham yang bisa merusak,” ujar Muhammad Abdullah Darraz,

Ia menambahkan, virus radikal terorisme ini bisa menjangkit kepada siapa saja. Bahkan radikalisme dan terorisme ini seringkali diidentikkan dengan komunitas agama tertentu, padahal agama manapun menolak praktik terorisme.

“Selama ini agama mengajarkan kepada kemuliaan cinta dan kasih. Namun seiring berjalannya waktu ada banyak oknum yang menjalankan kekerasan dengan menyalahgunakan agama untuk menjalankan praktek kekerasan tersebut,” kata dia.

Begitu juga dengan mantan napi terorisme (mitra deradikalisasi), Muhtar Daeng Lau, yang juga menjadi narasumber dalam acara terebut mengatakan bahwa guru yang hebat adalah mereka yang pernah memberi peluang terbaik kepada muridnya.

“Hari ini kita membutuhkan guru yang hebat agar di kemudian hari negara menjadi kuat,” kata dia.

Ia menambahkan, pendidikan adalah pilar utama pembangunan bangsa. Karena itu, kualitas pendidikan yang baik tentunya akan menghasilkan generasi cerdas dan berkarakter yang siap membangun negara.

Senada, Psikolog untuk Komunitas Sekolah, Rinjani, mengatakan orang tua adalah role model bagi anaknya. Apabila anak mencontoh kekerasan yang dilakukan orang tuanya, ada kemungkinan anaknya tidak berani melakukan kekerasan di rumah, namun melakukannya di luar rumah/pada teman-temannya.

“Orang tua harus mendukung anaknya agar si anak mampu melakukan kontrol terhadap emosi diri, dan hal ini harus dicontohkan oleh orang tuanya,” katanya.

Menurut dia, pelaku bullying bisa jadi melakukan aksinya karena membutuhkan perhatian dan pengakuan dari orang lain. Ini disebabkan kurangnya perhatian di masa kecilnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar