JAKARTA – Tugas wartawan seperti diamanatkan dalam undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers memiliki beberapa fungsi. Di antaranya memerdekan informasi, menjadi media pendidikan dan juga kontrol sosial. Karena itu, wartawan secara naluriah pasti menjalankan fungsinya dalam memberikan informasi yang aktual kepada masyarakat.
“Saya kira wartawan dengan menjalankan fungsi itu saja sebenarnya sudah bisa mengajak masyarakat jadi lebih melek dan lebih terliterasi,” ujar Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan, di Jakarta, Minggu (9/2/2020).
Oleh sebab itu, Manan berharap, industri pers bisa turut serta berperan dalam menangkal penyebaran paham radikal terorisme di masyarakat, dengan menyajikan pemberitaan yang dapat menyejukkan, agar tidak muda terbujuk rayu terhadap propaganda paham negatif tersebut.
Makin berkembangnya teknologi informasi, membuat media mainstream banyak mengacu pada media sosial (medsos) sebagai sumber berita. Meski bukan ‘dosa’. Namun sebelum informasi itu disampaikan ke publik, maka seorang wartawan wajib melalakukan verifikasi terlebih dahulu.
Apalagi seseorang dengan mudah bisa membuat akun termasuk memposting informasi, yang bisa saja berbahaya. Sebab apa yang tersampaikan melalui medsos belum tentu faktual.
“Kalau menggunakan bahan awal dari medsos maka verifikasi itu adalah hal wajib dan standar dilakukan oleh wartawan sebelum informasi disebarkan,” katanya.
Manan mengingatkan, agar penggunaan medsos dipakai secara bijak. Jangan hanya karena informasi yang viral lalu diangkat untuk diperbincangkan di masyarakat. Padahal belum tentu apa yang diperbincangkan itu adalah sesuatu yang menjadi konsen banyak orang.
“Apalagi misalnya informasinya meragukan. Saya kira dalam hal ini media sikapnya sangat diperlukan. Jangan sampai media dikendalikan oleh agenda di media sosial, yang kita tahu bahwa media sosial itu tidak punya kewajiban untuk patu kepada kode etik,” ujar dia.
Wartawan mengambil langsung sumber informasi dari medsos tanpa verifikasi, hal itu merupakan suatu tindakan ceroboh. Sebab sang wartawan tidak memegang teguh kode etik yang menjadi suatu kewajiban utama dalam menemukan kebenaran.
“Karena salah satu cara untuk menemukan kebenaran itu adalah melalui proses verifikasi,” ujarnya.
Ia menambahkan, tak bisa berbuat banyak bila ada wartawan yang melakukan tindakan pelanggaran kode etik jurnalisitik. Sebab tidak semua terdaftar dalam keanggotaan AJI.
“Kami akan lebih banyak memberikan seruan kepada wartawan agar berusaha selalu mematuhi kode etik,” kata dia.
“Kode etik itulah yang membedakan antara media mainstream dan media sosial,” Manan melanjutkan.
Ia mengakui, majunya era teknologi, media sosial lebih dipercaya masyarakat, dengan alasan gratis dan informasinya cepat. Hal itu yang sulit dipenuhi oleh media mainstream.
Meski begitu, dengan memegang teguh kode etik jurnalistik oleh wartawan, maka lambat laun publik bakal menumbuhkan kepercayaannya kepada media mainstream.
“Media mainstream harus lebih setia pada prinsip-prinsip jurnalistik, karena hal itu yang membuatnya berbeda,” katanya.