JAKARTA – Kisah ‘hijrah’ yang dilakukan ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) ke Negeri ‘Daulah Islamiyah’ di Suriah di bawah naungan Khilafah, rupanya tak seperti yang diharapkan, sebagaimana dijanjikan kelompok Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS).
Banyak dari mereka terpedaya propaganda kelompok ISIS di berbagai media sosial (medsos), tentang ajakan hijrah ke Suriah. Bahkan dengan bangga meninggalkan Tanah Air Indonesia yang sejatinya penuh dengan kehidupan yang damai. Paspor pun mereka bakar.
Kini yang terjadi justru ratapan kesedihan, yang tidak menentu dengan menimbulkan penyesalan seiring dengan runtuhnya ISIS. Berharap bisa kembali ke tahan air. Namun Pemerintah telah memutuskan untuk tidak memulangkan mereka.
Melihat hal tersebut, Pengamat Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana, meminta kepada masyarakat menjadikan masalah itu sebagai pelajaran penting, agar tidak mudah termakan bujuk rayu dan propaganda kelompok radikal terorisme.
“Saya berharap masyarakat benar-benar paham betul, bahwa adanya iming-iming untuk hidup lebih baik, lalu bisa masuk surga itu ternyata tidak benar. Masuk surga itu keputusan dari Tuhan Yang Maha Kuasa,” ujar di Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Sebagai Warga Negara Indonesia, tentunya harus bisa mensyukuri dengan apa yang sudah didapatkan sekarang. Dimana kondisi negara yang penuh keragaman, masyarkat bisa hidup damai, sehingga tidak perlu lagi untuk kemudian berpikir berhijrah dan lain sebagainya.
“Jangan mudah tergoda, jadilah Warga Negara Indonesia yang baik, bisa menjaga perdamaian, jangan kemudian bersentuhan dengan hal-hal yang berkaitan dengan terorisme,” katanya.
Menurut dia, masyarakat harus punya resiliemce (ketahanan), sehingga bisa melihat secara jernih apakah cerita manis tersebut realistis atau tidak. Bila perlu, masyarakat berkonsultasikan ke orang yang lebih tahu dan bisa dipercaya, misalnya kepada tokoh agama atau ustad, bahkan lebih penting juga menayakan ke aparat pemerintah maupun aparat hukum.
“Pemerintah mungkin melalui BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) juga harus mengencarkan sosialisasi ke masyarakat, bahwa menjadi Warga Negara Indonesia ini adalah sebuah kebanggaan,” kata dia.
Wacana pemulangan eks WNI yang sebelumnya gencar diberitakan, ia menambahkan, landasan negara untuk menyikapi kebijakan memulangkan atau tidaknya, tentu didasarkan pada eks ISIS ini merupakan WNI atau bukan.
Kalau bukan WNI lagi, tentunya tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk memulangkan,” katanya.
Undang-Undang No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan turunannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007, sudah disebutkan bahwa, seseorang itu bisa secara otomatis kehilangan kewarganegaraan apabila memenuhi beberapa kualifikasi.
“Pertama, dalam pasal 23 huruf d adalah kalau mereka ikut di dalam dinas tentara asing. Di situ bukan disebut negara. Jadi ikut tentara asing. Yang dimaksud tentara asing ini bisa pemberontak mungkin dan lain sebagainya,” ujarnya.
Kedua, sesuai dengan pada pasal 23 huruf f, apabila mereka mengangkat sumpah untuk setia pada sebuah negara atau bagian dari negara. Jika ISIS ini merupakan pemberontak dan merupakan bagian dari negara serta eks. WNI sudah melakukan Sumpah Setia, maka mereka sudah kehilangan kewarganegaraan.
Lalu pihak yang mengatakan bagaimana dengan anak, karena anak itu tidak punya kuasa ketika orang tuanya mau pergi ke Suriah. Namun permasalahannya adalah apakah anak ini ikut dalam dinas perang tentara atau tidak.
“Karena biasanya di kelompok teroris ini, pada usia yang sangat belia mereka ikut dan mereka ini sudah di brainwash (cuci otak),” kata dia.
“Kita harus tahu terlebih dahulu seberapa terpapar anak-anak ini. Belum lagi kalau anak ini harus kembali ke Indonesia, sementara orang tuanya tidak dikembalikan. Berarti anak itu nanti bisa merasa bahwa dia dipisahkan secara paksa oleh pemerintah dalam hal ini pemerintah Indonesia. Tentunya itu nantinya akan memunculkan dendam dan yang pasti nantinya juga akan menyulitkan pemerintah sendiri,” Hikmahanto menambahkan.
Penolakan pemerintah terhadap eks ISIS, kata Hikmahanto, sama sekali tak melanggar HAM. Sebab mereka sudah bukan WNI lagi. “Kalau saya perhatikan bahwa alasan kemanusiaan itu akan berakhir ketika keselamatan dari bangsa dan negara itu sudah mulai muncul. Kita harus tahu bahwa kalau misalnya mereka kembali dan kita tidak bisa menanggulangi penyebaran paham idiologi dari ISIS ini, nanti ujungnya akan mengganggu keselamatan dari bangsa ini sendiri,” kata dia.
Ia berharap, pemerintah juga memperketat perbatasan yang bisa menjadi pintu masuk. Namun lain halnya kalau mereka melakukan cara-cara lain yang akhirnya mereka mampu untuk keluar dari Syria atau dari Irak terus kemudian masuk ke Indonesia.
“Nah kalau misalnya mereka nantinya ketahuan ya tentunya mereka harus menghadapi proses hukum dan lain sebagainya di Indonesia,” ujar Hikmahanto mengakhiri.