JAKARTA – Untuk menegakkan hukum pada penanganan pesawat udara asing setelah pemaksaan mendarat (force down), sejumlah pihak terkait melakukan penandatanganan bersama di Jakarta, Senin (24/2/2020).
Penandatanganan Kesepakatan Bersama tersebut ditandatangani masing-masing perwakilan, yang terdiri dari Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan (Kemhan) Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, dan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Kemudian, Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanam Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia, dan Staf Operasi Panglima Tentara Nasional Indonesia yang diwakili oleh Asops Panglima TNI, Mayjen TNI Tiopan Aritonang.
Dari rilis Pusat Penerangan (Puspen) TNI ke Jernih.co, penandatanganan bersama dilakukan untuk meningkatkan sinergitas pelaksanaan tugas dan fungsi para pihak terkait, guna mengoptimalkan penegakkan hukum agar semua kegiatan penanganan pesawat udara asing, setelah pemaksaan mendarat (Force Down) oleh pesawat TNI AU dapat dilaksanakan secara efektif, berdaya guna, dan berhasil guna.
“Sesuai ketentuan hukum nasional dan internasional, sehingga tugas dan fungsi para pihak dapat diselenggarakan dengan baik,” kata Kabidpenum Puspen TNI, Kolonel Sus Taibur Rahman dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (24/2/2020).
Menkopolhukam, Mahfud MD, menegaskan, tindakan pemaksaan mendarat oleh TNI Angkatan Udara kepada pesawat asing sudah sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2018 tentang pengamanan wilayah udara Republik Indonesia.
Apabila ada pesawat asing melintasi wilayah udara Indonesia, lanjut Mahfud, tanpa disertai perizinan yang jelas dan telah diperintahkan untuk keluar wilayah Indonesia, namun tidak mengindahkan perintah tersebut, maka akan dilaksanakan pemaksaan mendarat di landasan udara atau bandara yang memenuhi syarat.
Ia menjelaskan, pengelolaan pengamanan wilayah udara sudah tersirat pada Pembukaan UUD 1945 yang pada alinea keempat. Maka, penandatanganan kesepakatan tersebut dilakukan sesuai dengan peristiwa yang pernah terjadi beberapa waktu lalu, dimana saat itu banyak terjadi miskomunikasi pasca upaya force down dilakukan.
“Saya mengapresiasi kerja keras semua pihak yang telah berhasil menelurkan kesepakatan bersama yang baru saja ditandatangani guna menjadi pedoman dan dapat memaksimalkan kegiatan rekan-rekan yang berada di lapangan,” katanya.
Kesepakatan bersama ini dibuat, kata Mahfud, bukan untuk mengurangi dan menambah kewenangan yang sudah ada di masing-masing kementerian dan lembaga, melainkan untuk merajut dan menjadi rajutan sebagai standard operational prosedur masing-masing kementerian/lembaga.
Sehingga, nantinya setiap aktivitas kementerian/lembaga dapat berjalan secara lancar dan diharapkan dapat tercipta sinergitas antara kementerian/lembaga terkait dengan penanganan pesawat udara asing setelah force down.
Meski telah dilakukan penandatanganan, kata Mahfud, namun pelaksanaan dalam level teknis perlu dan harus selalu diperhatikan, sehingga aturan dan tata cara yang tertuang di dalam kesepakatan bersama, bukan sekadar tulisan tetapi bisa dimanfaatkan dan diimplementasikan dengan sebaik-baiknya secara maksimal.
Sekadar diketahui, pada tanggal 14 Januari 2019 lalu, dua pesawat tempur F-16 Fighting Falcon TNI AU Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru, Riau memaksa pesawat asing Ethiopian Airlines mendarat di Bandara Hang Nadim, Batam, Kepulauan Riau.
Upaya ini dilakukan, karena pesawat asing melintas di wilayah udara NKRI tanpa izin, sehingga dinyatakan telah melakukan penerbangan gelap.