GARDANASIONAL, JAKARTA – Wakil Fraksi Partai NasDem, Willy Aditya, saat mengikuti Sidang Parlemen Dunia yang dilangsungkan di Berlgrad, Serbia. Mendorong sejumlah isu termasuk terorisme.
Ia menjelaskan, upaya soft approach dinilai penting dalam penanganan terorisme. Pola tersebut yakni dengan melakukan dialog, pencegahan konflik, pemberdayaan masyarakat muda, menjaga keamanan warga.
Menurutnya, terorisme masih menjadi ancaman yang nyata bagi dunia. Indonesia menjadi salah satu negara yang terus mendapatkan ancaman tersebut.
“Terakhir kasus yang menimpa Menteri Polhukam kami, Bapak Wiranto, di Pandeglang, Banten. Pola serangannya bahkan sudah berbeda, tidak menggunakan bom atau senjata api lagi, tetapi sudah serangan dengan senjata tajam. Hal ini menunjukkan bahwa terorisme masih terus eksis dan semakin berani,” ujarnya, Kamis (17/10/2019).
Merujuk berbagai laporan yang ada Willy melanjutkan, kawasan Asia Tenggara memang menjadi persemaian baru bibit terorisme. Pasca kalahnya ISIS di Suriah, banyak para kombatannya terutama yang berasal dari Asia, menjadi Asia Tenggara sebagai kawasan untuk menyusun kekuatan baru mereka.
“Apa yang terjadi di Filipina Selatan beberapa waktu yang lalu menjadi salah satu indikasinya,” imbuhnya.
Karena itu penting pendekatan lunak (soft approach) dalam penanganan aksi terorisme. Salah satu bentuknya adalah tindak pencegahan yang dipayungi oleh undang-undang.
Pasca pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, aksi teror tidak hanya bisa dideteksi melainkan juga ditindak sejak dini.
“Jika seseorang terlihat terlibat dalam jaringan teror, dia bisa langsung ditindak,” tegasnya.
Karena itulah yang dapat membedakannya dengan payung hukum sebelumnya, di mana Densus 88 baru bisa menindak ketika tindakan teror terjadi.
Selain payung hukum, keberadaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadi wujud lainnya dalam pendekatan lunak terhadap terorisme.
“Terorisme itu sejatinya aksi politik, dan politik itu adu kecerdasan, adu siasat. Dalam kasus ini, BNPT telah banyak melakukan deradikalisasi terhadap pentolan-pentolan teroris. Terdapat lebih dari 600 narapidana dan mantan narapidana perkara terorisme yang menjalani program deradikalisasi. Dan dari 600 itu, hanya tiga orang yang kembali melakukan teror,” jelasnya.
Tidak berhenti di situ, adanya ormas-ormas keagamaan yang moderat juga menjadi agen dalam penanganan aksi terorisme. Jika BNPT bertugas melakukan deradikalisasi maka ormas-ormas yang berhaluan moderat ini melaksanakan program kontra radikalisme.
“Jadi mereka lebih banyak berada di wilayah perlawanan wacana,” tegasnya.