Hamdi Muluk: Para Tokoh Harus Bisa Melawan Provokasi, Bukan Menyebar Hoax

Nasional4 Dilihat

JAKARTA – Pada dasarnya masyarakat Indonesia suka mengikuti perilaku para tokoh. Karena itu, seharusnya tokoh-tokoh dapat melawan provokasi yang ada, bukannya ikut-ikutan menyebar hoax.

Demikian dikatakan Pakar Psikologi Politik, Hamdi Muluk, di Jakarta, Sabtu (10/10/2020).

”Kita berharap tokoh-tokoh bersikap seperti negarawan, memberikan contoh-contoh yang baik kepada masyarakat. Kalau dia tukang kompor, ya repot, apalagi followernya banyak, umatnya banyak,” ujarnya.

Ia menambahkan, provokasi terkait dengan dua hal utama, yakni hoax atau fake news. Dimana biasanya masyarakat diajak melakukan pembangkangan sosial dan negara, serta tidak percaya dan patuh.

“Dalam konteks radikal, termasuk tidak percaya kepada pemerintah. Pemerintah ini disebut thogut,” kata dia.

Dulu yang paling sering digaungkan untuk provokasi adalah banjirnya Tenaga Kerja Asing (TKA) Cina di Indonesia. Namun hal itu kemudian dipelintir yang ujung-ujungnya mengajak masyarakat tidak mempercayai pemerintah.

Oleh karena itu, ia meminta masyarakat diajak berpikir cerdas agar tidak cepat mempercayai hoax. Disamping mengingatkan pentingnya mengecek dulu kebenaran dari berita-berita yang ada.

”Bisa saja itu diedit sedikit-sedikit kemudian dimasukkan ke grup WA, ke sosmed. Covid sekarang juga gitu, anjuran pemerintah untuk pakai masker dan jaga jarak mereka malah bilang ’Covid itu tidak ada, konspirasi, akal-akalan cina dan yahudi biar kita wajib vaksin’,” ujar dia.

Dirinya menyarankan agar informasi yang ada diimbangi untuk menangkalnya. Contoh UU Cipta Kerja, meskipun secara akademik bermasalah, tetapi selain itu ia melihat ada juga hoax, seperti karyawan tidak akan dapat pesangon sedikitpun, tidak ada lagi uang pensiun dan sebagainya.

”Kalau hal ini dibiarkan provokasi, hoax bertebaran, bisa membuat orang jadi anarkis, membuat masyarakat jadi resah tidak terkontrol. Pemerintah harus tegas,” katanya.

Menurut Muluk, literasi digital penting untuk dilakukan sejak dini, sejak. Sebab media sosial sangat susah dikontrol dibandingkan dengan media-media yang lain. Karenanya, lembaga terkait seperti Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo), Badan Siber, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Kepolisian memonitoring dan sebisa mungkin menangkal hal tersebut.

“Kominfo dan Badan Siber perlu memantau. Mana yang perlu dimatikan dan seterusnya. Karena sekarang medan pertempurannya adalah di internet,” kata dia.

Selain hal itu, perlu keterlibatan tokoh publik yang harus menjadi role model, memberi contoh yang baik, tidak gampang terprovokasi, tidak mudah mengeluarkan statemen yang belum jelas kebenarannya, apalagi sampai memanas-manasi.

“Kalau dia sendiri yang malah mengompor-ngompori umat untuk diprovokasi jadi anarkis, radikal, intoleran dan segala macam, tentu repot,” katanya.

Untuk itu dirinya menghimbau, meskipun kadang-kadang ada tokoh yang berseberangan secara politik, tetapi tidak boleh dijadikan alasan untuk memprovokasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *