MALANG – Eks Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Inspektur Jenderal (Purn) Pol Ansyaad Mbai, mengkritik rencana pemerintah melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengatasi terorisme.
Menurut Mbai, kekuatan militer bisa berbahaya dan malah berpotensi menimbulkan masalah baru. Karena itu, rencana tersebut harus jelas peraturannya terkait batasan peran TNI dalam penanganan terorisme.
“Selama ini sudah ada peran Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror dan BNPT itu sendiri,” ujarnya di Malang, Selasa (13/10/2020).
Ia menambahkan, rencana melibatkan TNI tidak boleh keluar dari koridor hukum sebelumnya. Baik hukum dalam Undang Undang TNI maupun pemberantasan tindak pidana terorisme.
“Jangan keluar dari itu. Kalau keluar, bahaya,” uja dia.
Pengerahan kekuatan militer dalam penanganan tindak pidana terorisme berbahaya. Hal itu melihat dari rekam jejak beberapa negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Dimana dihantui pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
“Berdasarkan pengalaman Internasional berbagai macam negara menghadapi organisasi teroris dengan operasi militer. Tidak ada satupun berhasil,” kata dia.
Mbai mencontohkan, pengerahan militer dalam menumpas kelompok Al Qaeda di Afganistan. Dimana kelompok tersebut di bombardir oleh pasukan militer Amerika Serikat hingga membuat pendirinya Usamah bin Muhammad bin Awwad bin Ladin (Osama bin Laden) tewas pada 2 Mei 2011.
Namun bukannya berhenti dan selesai, kelompok tersebut malah marah dan menyimpan dendam kesumat. Bahkan, berkembang menjadi kelompok baru dengan anggota lebih besar bernama ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).
Sedangkan untuk kasus di Indonesia, Mbai mencontohkan, seperti konflik sebuah organisasi separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang memiliki tujuan lepas dari Indonesia pada tahun 1976. Kala itu, pemerintah melakukan operasi militer besar-besaran selama puluhan tahun di daerah tersebut.
Namun demikian, tindakan tersebut bukan menyelesaikan masalahnya. Melainkan membuat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) semakin melambung namanya gerakan separatis itu di mata Internasional.
“Ketika dilakukan operasi militer puluhan tahun di sana (Aceh). Apa yang terjadi? Terjadi internasionalisasi GAM. Intervensi internasional masuk. Ini yang harus kita hindari,” kata dia.
Peran TNI memang sangat diperlukan dalam setiap kondisi dalam membantu keamanan Indonesia. Akan tetapi, jangan sedikit-sedikit langsung mengerahkan kekuatan militer. Padahal, kondisi belum genting dan cukup diatasi instansi penegak hukum seperti kepolisian.
“TNI penting sekali. Tapi, jangan diobral. Pemerintah jangan sembarangan terjunkan TNI. Dia adalah pemukul ketika polisi tidak bisa menabrak target dalam suatu kondisi,” ujar dia.
Mengerahkan kekuatan militer dalam penegakan hukum ada satu prinsip umum bahwa kondisi sudah darurat. Artinya apabila situasi ancaman sudah diluar batas kemampuan polisi. Baru kemudian kondisi hal tersebut perlu keterlibatan militer.
“Militer dalam penegakan hukum ada satu prinsip universal yaitu assistance in an emergency situation. Jadi, militer baru terlibat apabila situasi ancaman diluar batas kemampuan polisi,” kata Mbai.
Oleh karena itulah, terkait mengatasi tindak pidana terorisme di Indonesia. Ia menyarankan agar pemerintah mengedepankan pendekatan kultural atau lebih mementingkan kepentingan manusia.
Dia mencontohkan, penanganan tindak pidana terorisme di Peru. Dimana beberapa kali pemerintah setempat menggunakan kekuatan militer. Bukan selesai, malah semakin parah dan membuat semakin banyak korban berjatuhan.
Terlepas dari itu, dia menyampaikan dalam penanganannya juga perlu bantuan organisasi masyarakat (ormas), ulama dan cendekiawan moderat. Meminta pemerintah memfasilitasi kegiatan mereka dalam upaya pencegahan terjadinya tindak pidana terorisme.
Diketahui, sampai saat ini, pembahasan Perpres terkait rencana melibatkan kekuatan militer dalam penanganan terorisme masih dalam pembahasan di legislatif.