JAKARTA – Indonesia akhir-akhir ini dihadapkan pada fenomena adanya fanatisme berlebihan terhadap agama yang cenderung mengarah pada tindakan ekstrem, intoleransi, radikalisme, hingga teror. Karenanya, fanatisme menjadi penyakit dan musuh agama. Bahkan dalam konteks bernegara, radikalisme menjadi musuh yang bisa menghantarkan sikap merugikan masyarakat dan negara.
Sekretaris Jenderal Lembaga Persahabatan Ormas Islam (Sekjen LPOI), Denny Sanusi, menyoroti fenomena fanatisme ekstrem dalam beragama sebagai hal yang memprihatinkan. Menurutnya, fanatisme ekstrem yang demikian justru hanya membawa kemudaratan bagi umat, karena dapat memicu timbulnya sikap merasa paling benar, ingin menang sendiri, dan prasangka buruk antar masyarakat dan umat beragama.
“Fanatik kepada agama pada dasarnya fine saja. Memang kita harus fanatik dengan cermat, karena ketika fanatik itu mulai menyalahkan orang lain yang berbeda agama atau keyakinan dan mulai berlaku ekstrem, itu yang tidak boleh,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (25/9/2021).
Lebih lanjut Denny juga menyoroti maraknya institusi pendidikan bahkan rumah ibadah yang kini mulai menunjukkan gerak-gerik adanya praktik intoleransi di dalamnya. Karena itu, dikhawatirkan akan semakin memperburuk keadaan masyarakat akan terpecah belah.
“Saya mendapati dari penelitian, bahwa beberapa institusi pendidikan bahkan rumah ibadah sudah tidak lagi menjalankan rukun dakwah sebagaimana mestinya. Rukun dakwah itu sudah tidak dipakai lagi,” kata dia.
Apalagi, saat ini ia melihat banyaknya masyarakat yang terjerumus pada radikalisme yang diakibatkan oleh keliru dalam memilih majelis dan guru-guru agama. Karenanya mengingatkan masyarakat untuk senantiasa cermat dalam memilih, baik intistusi pendidikan, majelis, dan ulama.
“LPOI terus mengimbau untuk hati-hati karena jangan sampai kita salah guru yang akhirnya menjerusmuskan kita menjadi intoleran,” katanya.
Menurut dia, ada faktor utama yang menyebabkan seseorang mudah terjerumus dalam radikal dan intoleransi yaitu rendahnya wawasan atau kebodohan. Sebagaimana ia mempercayai bahwa kebodohan adalah pangkal dari segala sesuatu yang negatif. Maka dari itu, menjadi peran ormas agama untuk ikut membantu memberi pemahaman agar masyarakat tidak mudah dijerumuskan.
“Saya merasa sangat penting sekali dengan ormas keagamaan bisa bermitra dengan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), karena ormas ini dapat memberikan pengertian bagaimana cara beragama yang baik. Inilah fungsi ormas untuk bisa menyentuh hingga ke bawah,” ujar dia.
LPOI dan LPOK sebagai Lembaga yang bermitra dengan BNPT, lanjut Denny, juga ikut berupaya dalam manangani fenomena radikalisme dan intoleransi, salah satunya melalui Memorandum of Understanding (MoU) dengan beberapa stakeholder dalam hal pemberdayaan mantan napiter (narapidana terorisme) yang baru bebas. Dimana salah satunya dengan program pelatihan, pemberian modal usaha dan pembekalan- pembekalan pada tahap reintegrasi sosial.
Disamping itu, pemerintah juga harus terus meningkatkan perannya melalui program-program yang berkualitas dan berkelanjutan, untuk menunjukkan keseriusan mencegah fenomena radikalisme dan intoleran berlarut-larut dan kian membesar nantinya.
”Langkah pemerintah saat ini dengan menggandeng tokoh agama dan masyarakat sangatlah tepat. Namun perlu terus meningkatkan, misalnya penguatan wawasan para tokoh-tokoh agama dan masyarakat, sosialisasi yang gencar menyasar hingga kebawah serta pembuatan kurikulum,” katanya.