MAKASSAR – Indonesia dengan berbagai potensi keberagaman dan kekayaan yang dimilikinya, dianggap sebagai sasaran empuk oleh kelompok radikal untuk menyebarkan paham transnasional yang bertentangan dengan falsafah bangsa. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengeksploitasi sentimen agama sebagai senjata memecah belah kerukunan dan solidaritas masyarakat.
Wakil Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, H. Andi Aderus, menyayangkan fenomena yang terjadi saat ini terkait merebaknya narasi radikal yang kerap kali menunggangi isu agama.
Ia menilai fenomena ini terjadi akibat faktor-faktor yang mempengaruhi lemahnya kewaspadaan masyarakat akan narasi-narasi yang memecah belah kerukunan dan solidaritas bangsa.
Faktor pertama, kelompok radikal punya trik tersendiri, yaitu menyasar masyarakat yang wawasan keagamaannya kurang, sehingga mudah diberikan narasi keagamaan yang menyimpang.
“Kedua, terhadap orang yang terlalu semangat beragama,” ujarnya di Makassar, Jumat (5/11/2021).
Ketiga, yang melatar belakangi mudahnya masyarakat terpapar narasi radikal adalah kebiasaan masyarakat dalam menilai sesuatu hanya dipermukaannya saja tanpa mempelajari maksud dan tujuan suatu kelompok atau narasi yang beredar.
Menurutnya, masyarakat mudah terkesan dengan label-label yang ditampilkan dan ditawarkan seperti misalnya Syariah, Islam, Sunnah, dan lain sebagainya tanpa mengkajinya lebih dalam. Padahal yang diperlukan disini adalah kajian yang lebih mendalam dan pendapat para ulama.
“Kita sering dengar narasi radikal berkedok ‘Kembali ke Al-Quran dan Sunnah’, padahal tidak semua masalah itu secara teks ada dalam alquran dan sunah tetapi itu perlu pendekatan dan penafsiran ahli,” kata dia.
Ia menegaskan, perlunya penalaran, penafsiran, dan pemahaman yang melatarbelakangi suatu ayat atau hadits diturunkan agar tidak menimbulkan kemunkaran.
Disisi lain, keberagaman dan kekayaan bangsa menjadi faktor pendorong Indonesia menjadi sasaran empuk kelompok radikal. Latar belakang kesukuan, budaya dan agama yang mencolok itulah yang kerap menjadi isu digunakan untuk narasi perpecahan, termasuk isu anti-nasionalisme yang juga menolak kearifan lokal dengan membenturkan antara nasionalisme dan agama.
“Ini yang luput dari pandangan kaum radikal, bahwa sesungguhnya Rasulullah dari awal telah membangun nasionalisme dengan keberagaman suku dan agama yang disatukan dalam piagam Madinah. Saya rasa nilai yang seperti itulah yang juga ditanamkan oleh para pendahulu kita,” katanya.
Ia menambahkan, peran para tokoh agama dan masyarakat dalam menanggulangi dan memperkuat kewasapadaan masyarakat terhadap narasi radikal, yakni dengan mengkaderisasi anak muda untuk ikut menjadi da’i atau pemuka agama yang nantinya hadir ditengah masyarakat untuk menyebarkan narasi agama yang moderat.
Andi mengapresiasi peran pemerintah saat ini yang salah satunya BNPT telah membentuk Gugus Tugas Pemuka Lintas Agama dengan menggandeng para tokoh lintas agama untuk melawan narasi radikal dengan moderasi beragama yang menyejukkan.
“Sekarang ini pemerintah sudah berperan dengan berbagai macam hal termasuk apa yang dilakukan BNPT melalui Gugus Tugas, dan ini yang harus dipertahankan demi keamanan negara,” ujar dia.
Langkah BNPT dengan membentuk Gugus Tugas Pemuka Lintas Agama, merupakan langkah yang tepat dan perlu dipertahankan, karena ia meyakini untuk memberantas ideologi radikal tidak cukup hanya dengan tindakan penegakan hokum (hard approach) semata, namun perlu adanya langkah penguatan ideologi kebangsaan dan narasi agama.
“Tidak cukup jika radikalisme ini dilakukan dengan tindakan (hard approach) saja, karena ini menyangkut ideologi. Sehingga harus dilawan dengan pemahaman dan penguatan ideologi kebangsan dan narasi agama, karena radikalisme perlu dibasmi hingga ke akarnya,” katanya.