Al Wala’ Wal Bara’ dan Tuntunan Agama Dalam Bersosialisasi

Nasional292 Dilihat

JAKARTA – Doktrin Al Wala’ Wal Bara’ sepertinya sengaja dihembuskan oleh kelompok radikal, untuk menghipnotis pola pikir umat Islam digiring pada pola keberagamaan ekslusif, reduktif, dan parsial. 

Semisal, hanya bisa berteman, bersaudara dan bergaul dengan yang seagama saja (wala’) dan membenci serta memusuhi orang lain/kelompok yang beda agama (bara’). 

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Center for Narrative Radicalism and Cyber Terrorism (CNRCT), Ayik Heriansyah, mengatakan doktrin Al Wala’ Wal Bara’  dianggapnya keliru dan menyebabkan prasangka buruk, terhadap umat Islam yang dinilai eksklusif dan enggan membangun hubungan sosial dengan umat agama lainnya.

“Orang Islam itu boleh bergaul dengan siapapun tanpa memandang SARA, kecuali bergaul untuk yang bersifat maksiat, merusak atau menaggangu ketertiban masyarakat hingga stabilitas negara,” ujarnya di Jakarta, Rabu (21/9/2022).

Dalam pandangan Islam, menurutnya ada tiga tuntunan yang harus dipedomani dalam kehidupan sosial dan berbangsa. 

Pertama, tidak boleh berteman dengan memandang perbedaan suku, ras dan agama. Kedua, bergaul itu tujuannya untuk kemaslahatan umat. Ketiga, harus ada akhlak. 

“Akhlak ini tidak mengenal SARA juga. Berbuat baik tidak hanya kepada orang yang seagama, tapi kepada semua orang,” kata dia.

Doktrin keliru Al Wala’ Wal Bara’ yang kerap digunakan oleh kelompok radikal, untuk menjadi justifikasi melakukan tindakan kekerasan. 

Doktrin ini diartikan dengan, umat hanya boleh bergaul dengan internal seagama dan didorong untuk membenci terhadap yang berbeda.

“Saya jelaskan dulu, Wala’ itu artinya kita harus setia, royal dengan orang orang se-aqidah, se-agama. Bara’, artinya berlepas diri, dari orang yang tidak se-aqidah. Permasalahannya, ketika istilah ini digunakan untuk masalah politik atau kenegaraan, disinilah mulai muncul permasalahan, salah penempatan,” kata Ayik.

Pasalnya, ketika istilah tersebut masuk ke ranah publik bahkan kenegaraan, maka akan menjadi masalah tersendiri, terlebih yang menjadi dasar negara sejatinya adalah konstitusi yang merupakan hasil kesepakatan para pendiri bangsa. 

Sehingga menurut Ayik, sangatlah keliru ketika al wala’ wal bara’ dicampur adukkan dalam urusan publik, politik dan kenegaraan.

“Karena dalam sebuah negara, ke-imanan orang beragam tidak bisa dijadikan sebagai dasar, dasar bernegara kita adalah konstitusi, sebagai hasil kesepakatan, kalau dalam agama islam kesepakatan itu sepanjang  tidak bertentangan dengan agama maka wajib dijaga dan ditaati,” ujar dia.

Sejatinya konsep Al Wala’ Wal Bara’ sangat kontradiktif dengan konsep Islam yang rahmatan lil’alamin. Oleh karenanya, memandang perlu peran tokoh agama dan ormas moderat senantiasia meliterasi dan memberi pencerahan terus-menerus kepada umatnya, agar tidak mudah terjebak pada doktrin menyesatkan konsep Al Wala’ Wal Bara’.

“Perlu kita luruskan, dan masyarakat umum kita beri pencerahan tentang bagaimana konsep konsep Al Wala’ Wal Bara’ yang sesungguhnya. Intinya setiap penyimpangan agama itu pasti membawa maslaah. Kita memang harus rajin, karena mereka juga rajin menyebarkan ajaran yang meyimpang,” katanya.

Penyimpangan makna dan ajaran yang demikian, menurutnya justru memperburuk citra agama Islam dan membuat tujuan Islam yang rahmatan lil alamin justru sulit terwujud.

“Indikator yang paling mudah untuk menilai sesuatu pemahaman itu menyimpang atau tidak, ya lihat saja tujuan akhirnya, apakah sikapnya akan membawa rahmatan lil alamin atau tidak,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar