SURAKARTA – Virus radikalisme bisa menyebar dari berbagai lini kehidupan masyarakat. Kelompok radikal menggunakan berbagai macam cara untuk mengajak, merekrut, dan mendoktrin masyarakat. Salah satunya melalui dakwah dan kajian keagamaan.
Hal itu dikatakan oleh Deputi I bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Mayjen TNI Nisan Setiadi, saat menghadiri Kegiatan Silaturahmi Kebangsaan Membangun Harmoni Indonesia bersama Forum Komunikasi Aktivis Masjid (FKAM) Indonesia di Surakarta, Rabu (22/12/2021).
Menurut dia, tempat ibadah kerap dieksploitasi dan dimanfaatkan kelompok radikal untuk mengajak, merekrut, dan mendoktrin masyarakat dengan ajaran yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan ideologi Pancasila. Karena itu, tokoh agama khususnya aktivis masjid mempunyai peran penting menjadi garda terdepan dalam menangkal virus radikalisme, sekaligus membentengi umat dengan pencegahan berbasis keagamaan.
Para aktivis rumah ibadah, lanjut Nisan Setiadi, harus bisa menjadi bagian komponen bangsa yang sangat strategis untuk tetap menjaga harmoni Indonesia, dari gangguan kelompok yang dapat merusak persatuan dan kesatuan. Karena rumah ibadah tidak hanya sebagai tempat ibadah mahdhah (murni), tetapi menjadi tempat merekatkan persatuan dan kesatuan.
“Karena rumah ibadah seperti masjid juga menjadi corong dan mimbar agama yang dapat menyatukan dan menyejukkan masyarakat. Selain itu masjid ini juga sebagai rumah Tuhan untuk mendidik umat agar selalu merawat persatuan dan persaudaraan,” ujar dia.
Ia mencontohkan, peradaban madinah yang luar biasa dibangun oleh Nabi Muhammad di tengah masyarakat yang multikultural, dimana sesungguhnya dimulai dari masjid. Karena itulah, masjid harus berperan penting dalam membangun peradaban Indonesia yang harmonis.
“Tentu saja, peran ini membutuhkan keterlibatan dan partisipasi aktivis masjid untuk selalu memberikan pencerahan kepada masyarakat,” kata dia.
Olehnya itu, ia mengajak semua pihak untuk terus memperkuat nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dengan menjunjung tinggi konsensus nasional Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Apalagi banyak negara luar yang iri dengan bangsa Indonesia yang mampu mengelola dengan baik berbagai perbedaan dan keragaman.
“Di berbagai belahan dunia, banyak negara yang tidak mampu mengelola kondisi pluralitas dan multikulturalitas bangsanya secara baik. Seperti contoh di negara-negara Timur Tengah, dengan sedikit suku tetapi selalu dihantui dengan perang domestik yang bernuansakan sekteranisme,” katanya.
Menurutnya, Pancasila merupakan anugerah dari Allah SWT kepada bangsa Indoneisa, sebagai satu pandangan hidup bernegara yang disepakati bersama dan sebagai salah satu konsensus nasional yang harus terus dihormati.
Disamping itu, kata Setiadi, ada beberapa faktor yang bisa menjadi persoalan sosial yang pada akhirnya memunculkan konflik. Dimana benih-benih konflik dimulai dari pra sangka (prejudice), kecurigaan, etnosentrisme, fanatisme kelompok, dan perasaan tidak percaya antara satu dengan lainnya.
Oleh karena itu, pentingnya sejak dini seluruh pihak untuk selalu mengajarkan, menanamkan dan mempraktekan kerukunan, toleransi, dialog, kerjasama dan juga saling menghormati satu sama lain dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Forum silaturahmi kebangsaan adalah salah satu momen penting bagi kita bersama untuk selalu membangun saling percaya antara pemerintah dan masyarakat, dan antar masyarakat dalam rangka mencapai Indonesia yang harmoni,” katanya.
Sementara, Ketua Umum FKAM, Umaier Khaz, mengatakan Indonesia adalah gambaran ideal yang termaktub dalam Piagam Madinah. Dimana negeri ini menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, toleransi, dan sama-sama menjaga keutuhan negara, baik serangan dari dalam maupun luar.
“Posisi Indonesia sebagai Darul Ahdi Wasysyahadah sebagaimana istilah Muhammadiyah, sebagai Darus Sulhi was Salam sebagaimana istilah Nahdhatul Ulama, juga sebagai Darul Mitsaq (negara kesepakatan), sebagaimana yang disebutkan oleh Wapres kita KH. Ma’ruf Amin adalah komitmen kebangsaan yang harus kita jaga bersama, sehingga kita dapat hidup secara damai dengan prinsip muahadah dan muwatsaqah, bukan dengan posisi muqatalah (saling membunuh) atau muharabah (saling berperang),” ujar dia.