JAKARTA – Pemerintah saat ini tengah fokus menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi sejak beberapa dekade lalu, sehingga mengakibatkan masifnya ekspansif penanaman sawit di dalam kawasan hutan yang non prosedural dan tidak sah.
Demikian dikatakan Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (Dirjen PHL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Agus Justianto, di Jakarta, Selasa (8/2).
“Praktik kebun sawit yang ekspansif, monokulture, dan non prosedural di dalam kawasan hutan, telah menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis, dan sosial yang harus diselesaikan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, terkait infiltrasi sawit yang tidak sah atau keterlanjuran sawit dalam Kawasan Hutan, maka penyelesaiannya dilakukan dengan memenuhi unsur-unsur keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Karena itu, penegakan hukum yang dilakukan dapat memberikan dampak yang terbaik bagi masyarakat serta bagi hutan itu sendiri. Salah satunya melalui regulasi jangka benah, sebagai upaya memulihkan fungsi kebun sawit rakyat monokultur menjadi kebun sawit campur, dengan teknik agroforestry (sistem usaha tani mengkombinasikan tanaman pertanian dan kehutanan) tertentu disertai dengan komitmen kelembagaan dengan para pihak.
Mengingat hutan memiliki fungsi ekologis yang tidak tergantikan, dan kebun sawit telah mendapatkan ruang tumbuhnya sendiri, maka saat ini, belum menjadi pilihan untuk memasukkan sawit sebagai jenis tanaman hutan ataupun untuk kegiatan rehabilitasi.
”Dari berbagai peraturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum dan praktik, sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan, dan pemerintah belum ada rencana untuk merevisi berbagai peraturan tersebut,” katanya.
Penyelesaian Masalah Tanaman Sawit di Kawasan Hutan
Oleh sebab itu, kebijakan turunan dari Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) Permen LHK Nomor 8 dan 9 Tahun 2021, telah memuat regulasi terkait jangka benah, yaitu kegiatan menanam tanaman pohon kehutanan di sela tanaman kelapa sawit.
Adapun jenis tanaman pokok kehutanan untuk Hutan Lindung dan Hutan Konservasi harus berupa pohon penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan dapat berupa pohon berkayu dan tidak boleh ditebang.
“Dalam peraturan ini diberlakukan larangan menanam sawit baru dan setelah selesai satu daur, maka lahan tersebut wajib kembali diserahkan kepada negara,” kata dia.
Untuk kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan Hutan Produksi, lanjut dia, diperbolehkan satu daur selama 25 tahun. Sedangkan yang berada di Hutan Lindung atau Hutan Konservasi hanya dibolehkan 1 daur selama 15 tahun sejak masa tanam dan akan dibongkar kemudian ditanami pohon setelah jangka benah berakhir.
“Jangka benah wajib dilakukan sesuai tata kelola Perhutanan Sosial, penanaman tanaman melalui teknik agroforestri yang disesuaikan dengan kondisi biofisik dan kondisi sosial, menerapkan sistem silvikultur atau teknik budidaya, tanpa melakukan peremajaan tanaman kelapa sawit selama masa jangka benah,” katanya.
Menurut dia, pendekatan ultimum remedium (sarana akhir) diambil sebagai tindakan jalan tengah yang adil dan baik bagi semua pihak, termasuk untuk kelestarian hutan.
“UUCK memposisikan sawit tergolong tanaman perkebunan,” ujar dia.