YOGYAKARTA – Harus diketahui lima narasi sebagai virus radikalisme yang berkembang saat ini, yaitu virus anti-Pancasila, virus anti-NKRI, virus anti-Kebhinekaan, virus kekerasan, dan virus anti terhadap pemerintahan yang sah.
Demikian diungkapkan Kasubdit Bina Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI, Kolonel Pas Sujatmiko, pada kegiatan Silaturahmi Kebangsaan dan Cinta Anak Negeri Bersama Mitra Deradikalisasi di Yayasan Bumi Damai, Muntilan, Yogyakarta, Kamis (5//10/2023).
Oleh karena itu, Sujatmiko meminta agar para mitra deradikalisasi untuk tidak anti terhadap pemerintahan yang sah.
“Pemerintahan yang sah artinya didirikan sesuai kesepakatan seluruh bangsa Indonesia, oleh sebab itu perlu dihormati dengan kritik yang baik,” katanya.
Selain itu, Sujatmiko juga mengajak perwakilan instansi yang hadir untuk memaksimalkan kolaborasi dalam pelaksanaan di lapangan agar selalu bersama-sama, kompak, saling memberi masukan dan informasi untuk kebaikan dan tujuan bersama menuju Indonesia yang damai.
Menurut dia, kegiatan tersebut merupakan ajang silaturahmi yang merupakan salah satu nilai penting dalam budaya dan tradisi Indonesia.
“Terutama dalam konteks masyarakat yang memiliki nila-nilai kebersamaan menjadi lebih kuat dalam membangun hubungan, mempererat persaudaraan dan kepercayaan,” ujar dia.
“Oleh sebab itu apabila masih ada perbedaan pemikiran, lebih baik dapat didiskusikan pada kesempatan yang baik ini. Karena yang berbeda itu sejatinya sama-sama mencari kebaikan, artinya samasama mencari keselamatan di dunia dan akhirat,” lanjut Sujatmiko.
Dalam kesempatan itu, Guru Besar Psikologi Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah, Prof M. Azhar, mengajak para mitra deradikalisasi atau mantan narapidana terorisme (napiter) untuk menyatukan tekad kembali pada ajaran agama Islam yang rahmatan lil alamin serta ideologi terbaik bangsa Pancasila.
Menurut dia, hal tersebut sangat penting untuk menyongsong menuju masa depan yang baik bagi para mitra deradikalisasi.
“Yang sulit saat ini yaitu menyatukan kedudukan pribadi kita sebagai umat dan warga negara. Mudah-mudahan kedepan kita semua dapat menyatakan dengan tegas bahwa Saya Muslim, Saya Pancasila secara bersamaan,” ujarnya.
Ia pun mengingatkan, bahwa pencetus Pancasila merupakan tokoh ulama-ulama besar di Indonesia baik dari Muhammadyah maupun dari Nahdlatul Ulama (NU).
“Jadi semua peraturan yang dibuat itu untuk kebaikan kita semua. Menjadi umat yang baik harus taat kepada perintah agama, menjadi masyarakat yang baik harus taat kepada aturan pemerintah,” katanya.
Prof Azhar berpesan kepada para mitra deradikalisasi, betapa pentingnya memahami perbedaan antara konsep khalifah dan khilafah.
Menurut dia, khalifah merujuk pada individu yang bertanggung jawab untuk memakmurkan bumi dan mengurusnya, sedangkan khilafah mengacu pada institusi, lembaga, atau bentuk pemerintahan yang sering kali digunakan dalam konteks politik dan sejarah Islam.
Ia juga menambahkan, keberadaaan anak-anak saat ini yang dapat dikenal dengan generasi strawberi, karena dianggap sangat rapuh dan cepat tersinggung. Dengan melakukan perubahan kecil sejak dini akan merubah masa depan anak menjadi lebih baik.
“Dengan melakukan musyawarah dengan keluarga secara rutin menumbuhkan rasa anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam tujuan keluarga. Hal kecil ini dapat disebut demokrasi. Demokrasi yang ditanamkan sejak dini yang diawali di lingkup terkecil diharapkan dimasa yang akan datang dapat berkembang dikalangan masyarakat,” ujarnya.
Sementara Ketua Yayasan Bumi Damai Yogyakarta, Nurali Iswandi, mengatakan seluruh warga ngara adalah anak-anak bangsa yang berperan untuk menjaga keutuhan dan kemakmuran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ia berharap, dengan adanya Rumah Singgah Bumi Damai yang menampung 190 orang terdiri dari anak yatim dan keluarga naprapidana terorisme mampu menyelamatkan anak bangsa
“Diharapkan kita bersama-sama bisa melakukan karya nyata untuk membantu mengurai permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat,” katanya.