Cegah Penyebaran Radikalisme, Pemerintah Baiknya Libatkan Generasi Milenial

Nasional5 Dilihat

JAKARTA – Untuk menghalau penyebaran radikal terorisme di Tanah Air, pemerintah dapat mengajak generasi milenial untuk menggarap konten tandingan di internet. Semisal konten tentang Pancasila dan nasionalisme yang lebih menarik generasi remaja, sehingga tidak terpapar paham radikalisme.

Hal tersebut dikatakan pengamat intelijen dan terorisme Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta, di Jakarta, Kamis (18/2/2021).

Riyanta mendorong pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam menghalau penyebaran terorisme di internet. Sebab penyebaran konten terorisme di internet melalui berbagai macam platform dinilai semakin masif. Apalagi mereka yang terpapar didominasi kalangan milenial.

Dari wawancara yang dilakukannya terhadap belasan remaja yang terpapar terorisme di internet. Sebagian besar dari mereka karena mengalami persoalan di keluarga. Karena itu, perlu dilakukan penguatan di tingkat keluarga dalam melakukan deteksi awal terorisme di tingkatan terkecil.

“Jadi ketika mereka bermasalah, mereka mendapatkan sesuatu di internet. Di usia mereka yang muda, mereka membutuhkan nilai dan eksistensi,” kata dia.

Pertumbuhan konten yang mengandung terorisme tumbuh pesat. Karenanya upaya pencegahan yang dilakukan pemerintah, mulai dari penghapusan konten dan situs yang mengandung konten terorisme, dianggap kurang efektif.

“Kominfo memang sudah menghapus (take down) situs-situs yang menyebarkan paham radikal. Tapi satu diturunkan, bisa muncul ratusan situs yang lainnya dalam waktu cepat,” katanya.

Menurut Stanislaus, untuk Indonesia, penyebaran konten terorisme di internet dilakukan oleh kelompok ISIS atau Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Kelompok ini berbeda dengan kelompok al-Qaeda yang memiliki organisasi yang rapi dan tertutup dalam perekrutan anggota.

ISIS cenderung oportunis, seperti memanfaatkan internet dalam penyebaran paham terorisme dan tidak mempermasalahkan keterlibatan perempuan dan anak-anak di bawah umur dalam aksi penyerangan.

“Ini dapat dilihat pada peristiwa bom Surabaya pada 2018 di mana seorang perempuan, yang mengajak anaknya, mengambil peran utama sebagai pelaku bom bunuh diri,” ujar dia.

Penyebaran terorisme di internet, juga membuat gerakan mereka tidak sistematis dan cenderung bergerak secara individu (lonewolf). Hal tersebut berakibat deteksi dan pencegahan terhadap potensi serangan terorisme secara individu sulit dilakukan.

“Mereka biasanya melihat konten di website-website. Setelah intens dan ada respons, mereka lebih mendalami di grup percakapan yang lebih eksklusif,” kata dia.

Sekadar diketahui, sejak Juli 2017 hingga Juli 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah memblokir dan menurunkan sebanyak 16.739 konten dari media sosial dan website terkait isu terorisme.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *