JAKARTA – Menjelang Pemilu 2024, masyarakat Indonesia harus mulai melek politik. Setidaknya ikut memeriahkan Pemilu dengan damai, menggunakan hak pilih dan memahami siapa yang akan dipilih. Jangan sampai keluguan, dan ketidaktahuan terhadap politik dan demokrasi, malah dimanfaatkan untuk memecah belah bangsa.
Dai muda, Habib Husein Ja’far Al Hadar mengungkapkan pentingnya melek politik dan berkontribusi pada Pemilu damai 2024. Menurutnya, tujuan utama politik adalah untuk membangun bangsa.
Oleh karena itu, masyarakat harus mengetahui profil para kandidat serta menjaga stabilitas nasional, kerukunan umat beragama dan persatuan bangsa dalam merayakan pesta demokrasi. Jangan sampai, demi kemenangan semata, persatuan Indonesia tergadaikan dengan adanya politik praktis.
“Pembangunan bangsa itu basic utamanya adalah persatuan. Nah, politik identitas itu artinya politik yang menggunakan identitas untuk perpecahan. Sehingga sudah seharusnya itu ditolak karena bertentangan dengan prinsip dasar dalam politik, yaitu membangun bangsa dengan persatuan,” ujarnya di Jakarta, Jumat (8/9/2023).
Habib Ja’far mencontohkan salah satu praktik politik Nabi Muhammad SAW yang patut dicontoh adalah Piagam Madinah. Menurutnya, piagam Madinah itu adalah salah satu piagam paling demokratis dan tetap relevan hingga saat ini yang pernah ada dalam sejarah umat manusia.
Ketika menjadi pemimpin di Madinah, Nabi melihat siapapun yang ada di Madinah, dilihat dalam perspektif sebagai kewargaan. Tidak dalam perspektif identitas agamanya, tidak dalam perspektif identitas sukunya. Sehingga siapa saja dari suku manapun dan agama apapun dilindungi, selama mereka mau hidup damai, saling menghormati, saling toleran satu sama lain. Itulah politik Nabi Muhammad, politik yang berorientasi kepada rahmatan lilalamin, rahmat bagi semesta.
“Nabi saat itu juga menjadi pemimpin Madinah bukan karena beliau sebagai seorang Nabi dari kalangan umat Islam. Tapi seorang yang dipercaya oleh siapa saja yang ada di Madinah saat itu lantaran alamin, terpercaya sebagai seorang pemimpin,” kata dia.
Oleh karena itu, dai kelahiran Bondowoso, 21 Juni 1988 ini menyerukan agar masyarakat memilih bukan karena sosok, identitas (suku, agama, ras, budaya) melainkan karena value yang diperjuangkan dari para kandidat. Menurutnya, sosok itu suatu hari mungkin berkhianat, mungkin berganti visi, mungkin berganti value.
“Keberpihakan kita kepada nilai bukan kepada sosok. Maka tidak ada istilah kalah, karena begitu dia menang walaupun dia bukan sosok yang kita jagokan. Tapi yang kita jagokan adalah nilai, sehingga kita akan terus kawal dia memperjuangkan nilai yang positif,” kata Habib Ja’far.
Dengan begitu, Habib yang dikenal dengan program podcast Log In ini berpendapat, pemilih akan selalu berada di pihak yang menang kalau politiknya itu bukan politik elektoral tapi politik kebangsaan. Makanya yang terpenting sekarang adalah terus meriset dan terus mendorong kepada para calon untuk berbicara tentang hal yang baik dan ditanya tentang visi-misinya.
“Saya pilih dia karena ganteng, oh saya pilih dia karena sukunya ini, oh saya pilih dia karena pertimbangan-pertimbangan yang sifatnya identitas. Enggak, tapi lebih kepada nilainya saya pilih dia karena dia memilih untuk berpihak kepada Indonesia, memilih untuk berpihak kepada persatuan,” kata dia.
Dalam memilih, lulusan Magister Ilmu Alquran dan Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menganjurkan untuk membaca basmallah bagi muslim, dan bagi yang beragama lain, membaca bacaan yang sesuai dengan tuntunan agamanya. Agar pilihan yang dipilih, tidak hanya tepat di mata kita tapi juga dipengaruhi oleh Tuhan. Harapannya mereka yang terpilih nanti akan terus berada dalam amatan dan bimbingan Tuhan.
“Kita serahkan pada akhirnya kepada Tuhan karena kita tidak tahu apakah dia benar-benar sesuai dengan yang kita nilai. Makanya ada aspek-aspek spiritual bukan hanya intelektual apalagi sekedar elektoral dalam pemilihan setiap kita ketika memilih di bilik suara,” katanya.