Intoleransi dan Radikalisme, Lebih Berbahaya dari Virus Corona

Nasional5 Dilihat

JAKARTA – Solidaritas kemanusiaan dan keagamaan selalu muncul di setiap terjadinya konflik, seperti konflik sektarian di India dan tindakan kekerasan yang dialami kelompok minoritas Rohingya di Myanmar.

Namun solidaritas hendaknya dikelola dalam perspektif positif dalam membantu penyelesaian konflik tersebut, sekaligus mewujudkan perdamaian dan ketentraman antar umat manusia.

Anggota Komisi VIII DPR RI, Maman Imanulhaq, mengatakan solidaritas kemanusiaan merupakan  hubungan emosional yang terbangun karena rasa saling percaya antara manusia ,yang menumbuhkan sikap saling menghormati, menjaga dan bertanggungjawab satu sama lain tanpa didasari atas isu primordial tertentu, entah identitas keagamaan, kesukuan, kebudayaan, etnisitas, dan sejenisnya.

“Solidaritas kemanusiaan bersifat universal, tanpa sekat, tidak berstandar ganda, tidak tebang pilih, apalagi bermuatan kepentingan primordial dan politis,” ujar Kang Maman, panggilan karib KH Maman di Jakarta, Kamis (12/3/2020).

Dalam Islam, kata Maman, solidaritas kemanusiaan pesan utamanya adalah ihsan yaitu berbuat baik pada sesama. Dengan dasar itu, wajar bila respon sejumlah ormas Islam di Indonesia atas isu-isu sosial-keagamaan yang menimpa Rohingya dan umat Islam di India. Kendati demikian, sikap tersebut harus dilandasi pemikiran yang rasional.

“Tidak boleh ada kekerasan oleh siapapun, kepada siapapun dan atas nama apapun, apalagi atas nama agama,” kata dia.

Ia mengimbau, agar bangsa Indonesia tetap menjaga semangat Bhinneka Tunggal Ika, terutama menyikapi masih maraknya intoleransi dan radikalisme. Apalagi keduanya merupakan virus yang muncul karena sikap tidak adil dan benih kebencian pada orang yang dianggap berbeda.

“Virus ini lebih bahaya daripada Covid 19. Karena itu umat Islam harus tampil sebagai ummatan wasathan yang toleran, adil dan cerdas hingga mendorong terwujudnya peradaban manusia yang beradab dan damai,” katanya.

Untuk itulah, ia mengajak umat Islam agar jangan terjebak politik identitas yang mengeksploitasi sentimen fanatisme ntuk meraih simpati publik. Apalagi fenomena ujaran kebencian, fitnah dan berita palsu sangat identik dengan gerakan tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *