Jauhkan Intoleransi dan Diskriminasi dari Lingkungan Pendidikan di Indonesia

Nasional1376 Dilihat

JAKARTA – Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei seharusnya jadi pengingat bagi Indonesia dalam menyelenggarakan pendidikan yang lebih berkualitas dan inklusif. Namun, dalam mewujudkan harapan yang mulia ini masih banyak tantangan yang menghadang.

Salah satunya praktik diskriminasi dan intoleransi di sekolah seperti mengharuskan seluruh siswinya mengenakan busana tertentu sesuai syariat Islam, walaupun diantara mereka ada yang tidak beragama Islam.

Praktisi dan pemerhati pendidikan anak, Seto Mulyadi (Kak Seto) menilai pendidikan yang ideal adalah yang bisa menjunjung nasionalisme dan merangkul semua anak, terlepas dari apapun suku, ras atau agama.

“Nasionalisme adalah bisa saling menghargai antar umat beragama. Ada yang beragama Islam, Kristen, Buddha, Protestan, Hindu, dan sebagainya. Tetapi kalau guru, kepala sekolah, atau bahkan Kepala Dinas Pendidikan di wilayahnya tidak mengerti itu, ya amburadul semua. Sebenarnya Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengatur itu semua, bahwa pendidikan anak Indonesia itu membentuk karakter pelajar yang sejalan dengan Pancasila. Merupakan tugas dari Kementerian Pendidikan untuk menegaskan hal ini,” ujarnya di Jakarta, Kamis (4/5/2023).

Sekjen Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) ini menyebutkan, Kementerian Pendidikan telah merumuskan lima hal yang harus ada dalam pelaksanaan pendidikan, yaitu: Pertama adalah etika atau budi pekerti yang justru seringkali kurang ditekankan. Kedua adalah estetika, maksudnya keindahan, kerapian, atau bisa juga dalam hal kesenian.

Ketiga adalah iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang seringkali hanya ini yang terlalu ditekankan. Dampak negatif dari penekanan iptek yang berlebihan, mungkin anak kalau sudah stres bisa tawuran, bullying, atau melakukan tindakan kekerasan.

“Keempat adalah nasionalisme. Hal Ini juga terkadang kurang ditampilkan dan ditekankan, bahwa kita berbeda itu dalam sebuah kerangka Bhinneka Tunggal Ika, harus bisa saling bekerja sama,” kata Kak Seto.

Kelima, lanjutnya adalah kesehatan. Menurut Kak Seto, tidak hanya fisik namun juga mental yang terkadang kurang diperhatikan.

“Kesehatan mental itu dijaga dengan tidak saling menghujat, menghina, mem-bully, melanggar norma adat istiadat ataupun agama. Jika kesehatan mentalnya terjaga, maka anak akan tidak mudah baper (bawa perasaan) dan marah,” tambahnya.

Ia menjelaskan, makna pendidikan ,jika mengacu pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana pembelajaran agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya secara optimal.

“Seharusnya pendidikan itu memunculkan potensi diri dari dalam, bukan memberi dari atas. Bukan sekadar memberikan hafalan, indoktrinasi, perintah dan sebagainya, sehingga anak-anak lebih diperlakukan sering sebagai objek, bukan sebagai subjek,” katanya.

Dirinya mencontohkan, ada lima Rudi yang hebat. Bisa menjadi Rudy Habibie yang merupakan Presiden Ketiga Republik Indonesia, Rudi Hartono yang juara bulu tangkis internasional, Rudy Hadisuwarno yang pintar memotong rambut, Rudi Salam yang pintar akting, atau Rudy Choirudin yang pintar masak.

Jadi, ungkapnya, semua orang harus memunculkan potensi dari dalam dirinya. Tidak semua orang harus jadi lawyer, dokter, atau insinyur. Hal ini yang harus dibangun dalam kerangka pendidikan. Prinsip untuk memunculkan kekuatan dari dalam peserta didik dan bukan sekadar ibarat mengisi air ke dalam gelas yang kosong.

Ketua Umum ASAH PENA (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia) ini pun berharap, agar pemerintah dan aparat berlaku tegas dalam memberantas praktik intoleransi dan membela HAM (Hak Asasi Manusia) serta hak anak.

Ia juga menekankan, menjadi tanggung jawab aparat setempat untuk menegakkan peraturan yang berlaku sesuai dengan tingkatannya. Mulai dari Kepala Dinas Pendidikan di wilayah itu hingga ke Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah bagi SD, SMP, dan SMA, serta Direktur Jenderal Perguruan Tinggi bagi universitas.

“Jadi ini juga harus ada ketegasan dari aparat atau pejabat yang membawahi pendidikan tersebut supaya diingatkan dan dikampanyekan kembali. Bahkan sekarang juga dikampanyekan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang sekolah yang ramah anak. Nah ramah anak itu tidak ada kekerasan atau pemaksaan, apalagi pemaksaan yang kemudian juga melanggar Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional itu sendiri,” kata dia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *