JAKARTA – Guru Besar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyoal perjanjian ekstradisi yang telah ditandatangani baru-baru ini, dan dapat digunakan menjerat para obligor alias pengemplang (menghindar dari keharusan membayar utang) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Hikmahanto menjelaskan, Satuan Tugas (Satgas BLBI) tidak bisa menggunakan perjanjian ekstradisi, sebab perkara itu merupakan perdata dan bukan pidana.
“Tidak bisa. Ekstradisi itu terhadap orang yang melakukan kejahatan. Jadi orangnya, bukan asetnya. Setahu saya Satgas BLBI ini approachnya (pendekatan) masalah perdata, misalnya sita, tapi secara perdata, bukan secara pidana. Kalau pidana kan orangnya yang melakukan kejahatan,” ujarnya di Jakarta, Kamis (27/1).
Selain itu, dalam perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Singapura, kesepakatan retroaktif hanya 18 tahun. Sementara, kasus BLBI lebih dari 18 tahun yakni terjadi pada 1998-1999.
Oleh karena itu, lanjut Hikmahanto, pemerintah hanya bisa mengusut pidana yang terjadi 18 tahun ke belakang dari 2022 yakni maksimal yang terjadi pada 2004. Sebagaimana masa kedaluwarsa penuntutan perkara berdasarkan Pasal 78 KUHP.
“Maksimal, untuk ancaman hukuman seumur hidup, masa kedaluwarsanya adalah 18 tahun. Namun ini ada masa tenggang kedaluwarsanya,” kata dia.
Ditambah lagi, Kejaksaan Agung (Kejagung) maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menghentikan kasus pidana BLBI. Bahkan baru-baru ini, lembaga rasuah menghentikan perkara dua tersangka BLBI yakni Sjamsul Nursalim alias Lim Tek Siong alias Liem Tjoen Ho dan istri Sjamsul yakni Itjih Sjamsul Nursalim Alias Go Giok Lian.
“KPK tak bisa mengusutnya, karena tak ada penyelenggara negara yang terlibat. KPK sudah mengajukan kasasi, namun ditolak oleh Mahkamah Agung,” katanya.