Kelompok Radikalisme Jadi Alat Politik Oposisi Pemerintah

Nasional4 Dilihat

“Ada simbiosis mutualisme antara politisi yang ingin menggunakan politisasi agama dengan kekuatan gerakan radikal”

JAKARTA – Kelompok penganut radikalisme kerap jadi alat politik untuk mengumpulkan kekuatan sebagai oposisi pemerintah, simbiosis mutualisme dan saling memanfaatkan. Kritik sebagai oposisi boleh saja, tetapi yang konstruktif dan membangun, bukan selalu dan menyebut apa yang di lakukan pemerintah semua salah dan selalu berseberangan.

Demikian dikatakan Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, Ken Setiawan, di Jakarta, Jumat (2/4/2021).

Menurut Ken, paham radikal muncul karena adanya politisasi agama yang dipicu sikap benci terhadap pemerintah atau pemimpin yang sah.

“Ada simbiosis mutualisme antara politisi yang ingin menggunakan politisasi agama dengan kekuatan gerakan radikal,” ujarnya.

Kelompok gerakan radikalisme berasal dari orang-orang yang anti pemerintah. Sering kali, radikalisme ini selalu mengatasnamakan agama, bahkan bukan monopoli satu agama tertentu.

Secara teori, lanjut Ken, radikalisme adalah suatu paham yang dibuat oleh sekelompok orang yang menginginkan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara kekerasan.

Karena itu, selain politisasi agama, radikalisme juga dipicu sikap intoleransi, kemiskinan, kebodohan, pemahaman agama yang tidak benar, ketidakadilan sosial, ketidakpuasan politik, hingga rasa benci dan dendam karena merasa terdzolimi.

“karakteristik kaum radikal terlihat dari sikap intoleransi, ekslusif, klaim kebenaran, hingga playing fictim,” kata dia.

Ken menilai, radikalisme menjadi musuh agama dan negara. Pada satu sisi, gerakan radikalisme merusak agama karena bertindak tidak sesuai dengan nilai-nilai beragama. Sementara sisi lain, menjadi ancaman negara karena menginginkan perubahan secara inkonstitusional.

“Dari paham radikalisme ini pula, lahir terorisme. Terorisme itu hilirnya, sementara radikalisme itu hulu,” katanya.

Semua teroris berpaham radikal, namun tidak semua radikal akan jadi pelaku aksi teroris. Dimana intoleransi dan radikalisme adalah pintu gerbang terorisme. Untuk itu, Ken meminta, masyarakat waspada dan tidak takut. Karena ketakutan itulah yang diharapkan pelaku terorisme.

“Radikalisme adalah politik berkedok agama dengan bentuk organisasi sebagai alat propaganda,” ujar dia.

Pernyataan Ken tidak lepas dari pengalamannya sebagai mantan komandan Negara Islam Indonesia (NII). Dimana saat bergabung dengan kelompok tersebut hanya memahami secara tekstual.

“Saat itu, saat bergabung di kelompok radikal, bisa dikatakan saya itu mabok agama. Mengkaji kitab suci Al Quran hanya sesuai dengan kebutuhan. Misalnya mengahalkan segala cara untuk menghimpun dana atas nama agama,” kata Ken.

Gerakan radikal saat itu diternak karena saling membutuhkan. Dalam hal ini, Ken menyinggung soal eksistensi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Pada masa pemerintahan sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi) cenderung menerima kelompok seperti HTI dan FPI. Bahkan dua organisasi ini diberikan ruang untuk menunjukkan kekuatannya.

“Saya bisa katakan, ini tragedi kemanusiaan atas nama agama, sebab banyak kalangan masyarakat khususnya anak muda dimanfaatkan kepentingan politik yang mengatasnamakan agama,” ujarnya.

Ken bersyukur kini HTI dan FPI secara organisasi telah ditindak oleh pemerintah, walaupun pahamnya belum berubah, kini mereka metamorfosa dengan nama yang baru, tapi masyarakat tidak boleh lengah, sebab mereka bisa saja ada disekitar lingkungan kehidupan sehari-hari.

“Jumlah mereka memang tidak banyak dibanding masyarakat yang moderat, tapi gerakan mereka sangat masif, terstruktur dan sistematis, 24 jam mereka bergerak tanpa lelah, sementara kita yang mayoritas moderat cenderung diam,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *