JAKARTA – Mata pelajaran agama di lingkungan sekolah maupun perguruan tinggi saat ini lebih menekankan nilai ritual daripada spriritual, ditambah lagi beberapa daerah di Indonesia melalui Peraturan Daerah (Perda) mewajibkan simbol agama diterapkan. Hal itu mengakibatkan diskriminasi dan bertambah suburnya pemikiran intoleransi dan radikalisme di Indonesia.
Demikian diungkapkan Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, Ken Setiawan, melalui keterangan tertulisnya, Jumat (29/1/2021).
Ken mengaku prihatin atas pengajaran agama di lingkungan pendidikan masih diterapkan secara simbolik-ritualistik, tanpa memikirkan korelasi antara simbol-simbol agama dengan kenyataan dan aktivitas kehidupan di lingkungan sekitar.
“Agama diperlakukan sebagai kumpulan simbol-simbol yang harus diajarkan kepada peserta didik dan diulang-ulang,” katanya.
Dalam hal pemikiran, peserta didik kerap dibombardir dengan serangkaian norma legalistik berdasarkan aturan-aturan fiqih yang telah kehilangan nilai moralnya.
Karena itu, pendidikan agama dinilai gagal karena mengabaikan syarat-syarat dasar pendidikan yang mencakup tiga komponen, yakni intelektual, emosional, dan psikomotorik.
“Pendidikan agama hanya terfokus pada aspek kognisi (intelektual-pengetahuan) semata, sehingga ukuran keberhasilan peserta didik hanya dinilai ketika mampu menghafal, menguasai materi pendidikan, bukan bagaimana nilai-nilai pendidikan agama seperti nilai keadilan, tasamuh, dan silaturrahmi,” kata dia.
Akibat pola pendidikan tersebut, tidak menjadikan peserta didik sebagai manusia yang semakin tawadlu, manusia yang shaleh secara individual maupun sosial.
“Menjadikan manusia (anak didik) terasing dari agamanya, bahkan dengan kehidupannya sendiri,” ujar dia.
“Mereka hanya mengenal agama sebagai klaim-klaim kebenaran sepihak. Mereka terperangkap dengan pemahaman ajaran agama yang bersifat permukaan dan bersifat legal-formalistik yang hanya terkait dengan persoalan hitam putih, benar salah, halal-haram, iman-kafir, surga dan neraka.” Ken menambahkan.
Dari permasalahan itu, Ken berharap, Kementrian Pendidikan, Kementrian Agama, dan Kementrian Ristek Dikti atau Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia mengadakan evaluasi dan perubahan, termasuk membongkar praktik diskriminasi di dunia pendidikan, agar persoalan intoleransi dan radikalisme di lingkungan pendidikan cepat teratasi.
Ia juga meminta perguruan tinggi negeri menyiapkan kawasan ibadah yang mencakup semua kepercayaan yang diakui di Tanah Air agar tercipta toleransi beragama.