Bogor – Para korban dari aksi terorisme (penyintas) dan mantan kombatan atau eks narapidana kasus terorisme (mitra deradikalisasi) diharapkan dapat menjadi agen-agen perdamaian di dalam lingkungan masyarakat. Karena hal itu merupakan bentuk kontra propaganda kepada masyarakat dari adanya propaganda yang dilakukan para jaringan terorisme selama ini.
Hal tersebut dikatakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Boy Rafli Amar, pada acara silaturahmi kebangsaan antara penyintas dan mitra deradikalisasi (mantan napi teroris) di Cisarua, Kabupaten Bogor, Selasa (30/3/2021) malam.
“Dengan silaturahmi yang dilaksanakan malam ini, menjadi bagian dari kekuatan kita semua untuk bertindak sebagai pihak yang melakukan kontra narasi di dalam masyarakat, keluarga dan lingkungan masing-masing,” ujarnya.
Pertemuan antara penyintas dengan mitra deradikalisasi dimaksudkan, untuk menimbulkan dan menanamkan rasa persaudaraan antara para penyintas yang merupakan korban dari kejahatan terorisme, serta mitra daradikalisasi yang merupakan para pelaku akis terorisme di masa lalu.
“Oleh karena itu, hari ini kita coba pertemukan. Dengan silaturahmi ini tentu membangun semangat persaudaraan, meyakinkan kepada semua pihak bahwa kejahatan terorisme adalah kejahatan extra ordinary, melawan nilai-nilai kemanusiaan sehingga perlu kita perangi dan perlu tingkatkan kewaspadaan bersama,” kata dia.
Selain itu, silaturahmi tersebut juga senantiasa untuk memperhatikan aspek kesejahteraan. Sebab itu merupakan ending dari program yang sudah diselenggarakan pihaknya, bagian dari amanat Undang-undang No/5 tahun 2018 tentang Penanggulangan Terorisme.
Boy juga berharap para penyintas dan mitra deradikalisasi memiliki kemandirian untuk dapat memenuhi kesejahteraanya. Namun demikian, selama ini ada proses ataupun kendala yang agak sulit dalam melakukan reintegrasi dengan masyarakat.
“Mungkin bagi para penyintas karena cacat yang dialaminya. Demikian juga bagi mitra daradikalisasi yang mungkin catatan dia sebagai eks napiter menjadi bagian kendala,” ujar dia.
Oleh karena itu, perlu ada pendampingan terhadap penyintas dan mitra deradikalisasi, yang senantiasa dilakukan evaluasi dari waktu ke waktu.
Dalam kesempatan itu, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Hasto Atmojo Suroyo, mengatakan pertemuan dengan mengumpulkan para korban terorisme dan mantan napi terorisme adalah bagian untuk mengembalikan fitrah sebagai umat manusia.
“Dalam berbagai kesempatan saya selalu sampaikan bahwa berjamaah itu bukan hanya melalui shalat, tetapi berjamaah itu juga ada dalam hidup. Jadi selain sholat berjamaah, manusia itu juga harus menjalankan hayatul jamaah. Karena inilah esensi dari hidup bersama,” kata dia.
Ada dua kelompok yang saling tidak mengenal karena situasi tertentu, terpisahkan oleh medan yang sangat tragis. Dimana yang satu menjadi korban dari sebuah aksi terorisme, dan kelompok lain menjadi pelaku tindakan terorisme.
Tetapi dengan adanya peretemuan tersebut, kata Hasto, merupakan upaya kembali kepada fitrah manusia. Dimana semua orang punya kesalahan dan dosa.
“Ketika disentuh kemanusiaan, maka itulah kita kembali ke fitrah manusia, dimana orang harus menghargai kemanusiaan,” ujarnya.
Menurut Hasto, kejahatan terorisme adalah kejahatan manusia yang harus diperangi oleh siapapun. Hal ini dikarenakan kejahatan terorisme bisa dialami siapa saja, kapan saja, dan dimana saja, baik menimpa diri sendiri, keluarga, tetangga, teman maupun kerabat.
“Pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan adalah tanggung jawab kita bersama, untuk memulihkan nilai-nilai kemanusiaan itu,” katanya.