JAKARTA – Banyaknya jabatan struktural baru di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diisi anggota Polri, rupanya membuat Indonesia Corruption Watch (ICW) khawatir. Sebab bisa mengikis independensi lembaga penegakan hukum tersebut.
Diketahui baru-baru ini Ketua KPK, Firli Bahuri melantik sebanyak 37 orang pegawai KPK untuk menduduki 38 jabatan struktural sebagai tindak lanjut dari pengesahan Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kelola KPK.
“Secara umum, masalah pelantikan pejabat struktural baru KPK dapat dipandang sebagai upaya dari pimpinan untuk makin mengikis independensi kelembagaan,” ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, di Jakarta, Rabu (7/1/2021).
Sejak Firli Bahuri dilantik sebagai Ketua KPK, lanjut Kurnia, terlihat adanya tren pejabat struktural diisi oleh anggota Polri yakni sembilan perwira tinggi Polri, di antaranya tujuh orang pada level direktur, seorang pada level deputi, dan seorang pada level pimpinan
Selain itu, kebijakan melantik puluhan pejabat KPK juga dapat dinilai sebagai tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh pimpinan. Apalagi, perubahan regulasi KPK menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang revisi UU KPK, tidak diikuti dengan pergantian substansi Pasal 26 dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
“Artinya, nomenklatur struktur KPK harus kembali merujuk pada Pasal 26 UU No. 30/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2019, yaitu bidang pencegahan, bidang penindakan, bidang informasi dan data, serta bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat,” katanya.
Kenyataannya, lanjut Kurnia, Perkom No. 7/2020 malah menambahkan nomenklatur baru, seperti deputi bidang pendidikan dan peran serta masyarakat, inspektorat, staf khusus, dan jabatan lainnya.
“Ini menunjukkan bahwa Keputusan Pimpinan KPK Nomor 1837/2020 tentang Pengangkatan dan Pengukuhan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi dan Administrator pada KPK bertentangan dengan UU No. 19/2019 dan tidak dapat dibenarkan,” ujar dia.
Nomenklatur baru KPK itu, juga bertolak belakang dengan konsep reformasi birokrasi yang menitikberatkan pada isu efisiensi. Tadinya KPK hanya memiliki empat kedeputian dengan 12 direktorat. Namun, setelah pemberlakuan Perkom No. 7/2020, stuktur KPK membengkak menjadi, lima kedeputian dengan 21 direktorat.
Karena itu, sebagai lembaga negara sepatutnya menjadi contoh reformasi dan efisiensi birokrasi, legitimasi KPK dalam memberikan masukan untuk perampingan kementerian dan lembaga negara lainnya akan berkurang akibat penggemukan struktur KPK.
“Akibat lainnya dari penggemukan ini adalah melambatnya kinerja KPK. Kurnia juga mengatakan terbuka melakukan uji materi untuk Perkom No. 7/2020 di Mahkamah Agung,” kata dia.
Menurutnya, Perkom Nomor 7 Tahun 2020 dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung jika ada pengajuan uji materiel terhadapnya, akan makin besar sebab pada prinsipnya, sebuah regulasi yang menjadi turunan dari UU tidak boleh bertentangan satu sama lain.
“Perkom No. 7/2020 secara terang-terangan bertentangan dengan UU No. 19/2019,” katanya.
“Penting untuk diingat, sepanjang tahun 2020 setidaknya ada lima lembaga survei yang mengonfirmasi adanya degradasi kepercayaan publik pada KPK, semestinya ini menjadi catatan dan evaluasi bagi pimpinan untuk tidak lagi mengeluarkan kebijakan yang keliru,” Kurnia menambahkan.