BOGOR – Mimbar agama sangat rentan disalahgunakan kelompok tertentu seperti radikalisme yang mengatasnamakan agama untuk melakukan penyebaran atau propaganda paham mereka. Dan itu berlaku di semua agama.
Hal tersebut Ketua Umum Asosiasi Dai dan Daiyah Indonesia (ADDI), Moch Syarif Hidayatullah, di Bogor, Jumat (1/7).
“Itu harus diakui, karena faktanya mimbar agama dari dulu sampai sekarang. Seperti di Islam, dakwah-dakwah melalui mimbar agama seperti khotbah Jumat sudah sejak awal dipakai untuk menyampaikan ajaran Islam,” ujarnya.
Penjelasan dalam hadis yang menyebut ketika khotib sedang berkhotbah, jamaah dilarang melakukan aktivitas lain selain mendengarkan khotbah. Hal itu agar khotbah bisa dipahami, lalu diimplementasikan atau diamalkan.
Dalam perjalanan penggunaan mimbar masjid khususnya di media khotbah dipakai untuk ideoligasasi atas kepentingan ideologi tertentu, seperti dalam Islam soal teologi maupun fiqih.
“Menjadi bahan penelitian dalam desertasinya yang secara khusus tentang khotbah jihad,” kata dia.
Baca Lagi: MUI: Soal Khilafah Tak Perlu Lagi Diperdebatkan
“Mimbar khotbah juga dipakai untuk memobilisasi massa, misalkan berjihad. Termasuk yang saya teliti dalam konteks perang Aceh digerakkan melalui mimbar khotbah,” lanjutnya.
Tak bisa dipungkiri mimbar dakwah di masjid atau tempat ibadah agama lain, sangat efektif menyampaikan ajaran kepada jamaah dan para jamaah, cenderung sangat memperhatikan apa yang disampaikan penceramah.
Maka disinilah kemudian dipakai oleh kelompok kepentingan tertentu, kelompok ideologi tertentu untuk melakukan ideologisasi, melakukan agitasi, politisasi, dan seterusnya.
Olehnya itu, sangat penting buat para dai atau khotib (penceramah) memberikan wawasan bahwa dalam berceramah atau menyampaikan materi keagamaan di mimbar agama ada tanggung jawabnya, baik moral dan kepada Allah SWT.
“Jangan sampai mimbar masjid dipakai untuk kepentingan agitasi, yang bukan kepentingan agama. Apalagi seperti biasa dalam musim-musim Pilpres, Pilkada, Pilgub ada kelompok-kelompok yang sengaja masuk ke masjid untuk mengganggu,” katanya.
Ia tak memungkiri, ada Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) juga ikut- terlibat. Padahal, DKM seharusnya menjadi wasit dengan mengingatkan para khatib agar tidak keluar dari perspektif agama.
Sebenarnya, masjid atau mimbar dakwah keagamaan tidak pernah salah. Tetapi bagaimana orang-orang yang memanfaatkannya itu.
“Biasanya ada banyak aktornya, ada DKM, ustad, dan ada juga donatur. Bahkan kadang DKM dikendalikan dan atas pesanan donatur,” ujar dia.
“Itu memang fakta yang tidak bisa kita pungkiri, tetapi memang tidak bisa fakta ini kita generalisasi. Tidak boleh mengeneralisir sesuatu yang sebetulnya bukan fenomena umat,” tambahnya.
Syarif mengajak semua pihak untuk memberi perhatian kepada masjid-masjid yang ada di lingkungan pemerintahan yang disitu menjadi tempat ASN beribadah.
“Jangan sampai khotib maupun sebagai penceramah, yang diundang justru yang selama ini bekoar-koar menolak pemerintah, menolak Pancasila, menolak Undang Undang Dasar 1945, tidak mau hormat bendera Merah Putih, tidak mau menyanyikan Indonesia Raya, dan ideologi yang dia sampaikan dalam ceramahnya, dalam tulisannya ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa,” kata dia.
Ideologi Pancasila, Syarif melanjutkan, sudah disepakati oleh mayoritas umat Islam, dimana para ulama juga ikut terlibat, semisal NU, Muhammadiyah, dan MUI.
Untuk itulah, Syarif mengajak para dai dan penceramah wasathiyah untuk bersuara lebih kencang untuk menyuarakan naras-narasi keagamaan, narasi Islam rahmatan lil alamin agar narasi keagamaan yang berkembang bukan narasi yang dikuasai orang-orang yang sebetulnya minoritas tapi berisik.
“Sekarang ini jamannya bukan sing waras ngalah, tetapi sekarang jamannya yang waras harus bersuara. Jangan sampai kalah sama yang tidak waras,” katanya.
1 komentar