JAKARTA – Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) terkait Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme, hingga kini masih terus mendapat kritikan. Bahkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan rencana penandatanganan peraturan tersebut.
Kepala Advokasi dan pengacara LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamor, mengatakan banyak pasal yang bermasalah dalam Perpres tersebut, sehingga tidak layak dilanjutkan.
“Seharusnya draf itu diganti. Kalau DPR saja menolak draf perpres itu, maka enggak boleh disahkan,” ujarnya di Jakarta, Senin (15/3/2021).
Masalah utama dalam rancangan Perpres tersebut, lanjut Nelson, adalah aturan dan definisi yang terlalu luas dan cenderung menjadi pasal karet. Sehingga akan menjadi pintu masuk pelibatan TNI dalam kehidupan sipil.
“Ini yang bisa jadi legitimasi TNI secara hukum beroperasi di masa damai terhadap warga sipil. Dalam hal sosial-politik,” katanya.
Beberapa waktu lalu, sejumlah kalangan yang tergabung Koalisi Masyarakat Sipil salah satu di antaranya LBH Jakarta, menguraikan pasal-pasal bermasalah dalam Perpres tersebut.
Pasal-pasal itu disebut akan mengubah model penanganan terorisme di Indonesia dari model sistem kontrol kejahatan melalui penegakan hukum (crime control model) menjadi model perang (war model).
Koalisi Masyarakat Sipil tersebut juga mengungkap masalah lain dalam perpres tersebut yaitu menyangkut potensi pertentangan pasal dengan peraturan di atasnya seperti UU TNI, misalnya, dalam UU TNI, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang yang salah satunya mengatasi terorisme bisa dilakukan jika sudah ada keputusan politik negara (Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU TNI).
Kemudian mengenai penggunaan APBD untuk TNI ketika terlibat dalam penanganan terorisme. Itu bertentangan dengan Pasal 66 UU TNI yangh mengatur anggaran TNI hanya dari APBN.
Sebelumnya, pada November 2020 lalu, Komisi III DPR RI sempat memberi catatan terkait Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
Menurut Komisi III, pelibatan TNI membutuhkan payung hukum yang jelas dan komprehensif sesuai maksud dan tujuan Pasal 43I UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Selain itu, Komisi III juga meminta pemerintah berhari-hati dalam menetapkan Perpres tersebut. Perpres itu diketahui akan mengatur ketentuan tentang mekanisme penggunaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap tugas TNI dalam lingkup UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.