“Dengan menyelenggarakan puasa, berarti menyatakan diri sebagai hamba yang tunduk pada perintah Allah SWT”
JAKARTA – Setidaknya ada lima fungsi berpuasa yang perlu dipahami umat Islam, agar mampu memerdekakan diri dari hawa nafsu, yang dapat menimbulkan perpecahan dan merusak esensi bulan Ramadan sebagai bulan suci.
Demikian dikatakan Dosen Pasca Sarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, Muhammad Suaib Tahir, di Sentul, Bogor, Selasa (5/4).
Pertama, puasa memiliki fungsi konfirmatif, yakni mengkonfirmasi bahwa seseorang adalah hamba Tuhan yang beriman.
“Dengan menyelenggarakan puasa, berarti menyatakan diri sebagai hamba yang tunduk pada perintah Allah SWT,” kata dia.
Kedua, fungsi puasa adalah lebih bersifat purifikatif, artinya membersihkan jiwa. Sehingga di bulan Ramadhan, sebuah kesempatan membersihkan diri dari hal-hal dan kebiasaan buruk.
Baca Juga: KRI Sultan Iskandar Muda-367 Jadi Tuan Rumah Pertemuan Petinggi UNIFIL
Ketiga, fungsi iluminatif, yaitu memperbaiki sesuatu. Sebagaimana puasa mendorong memenuhi target, untuk berpindah dari derajat ke derajat lain dalam hal karakter dan ketaqwaan.
Keempat, fungsi preservatif yaitu bagaimana puasa yang konteksnya adalah ibadah serta urusan antara manusia dan Tuhannya, namun juga memberikan kebermanfaatan, misalnya dalam segi kesehatan.
“Puasa menjaga keadaan tubuh kita, seperti yang sering kita dengar ada seorang dokter dan para ahli ahli mengatakan bahwa berpuasa itu memberikan kesehatan,” katanya.
“Terbukti banyak yang merasakan manfaat bagaimana mengatur makanan dengan baik,” lanjutnya.
Kelima, fungsi transformatif, dimana berpuasa seharusnya mendorong seseorang agar dapat bertransformasi menjadi umat yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Dengan memahami kelima fungsi tersebut, tambah Suaib, tentunya akan bebas dari kungkungan hawa nafsu yang selalu mengarahkan kepada hal-hal yang negatif.
Bulan Ramadhan, Bulan yang Memerdekakan
Ia menjelaskan, makna bulan Ramadan sebagai bulan yang memerdekakan adalah bagaimana seseorang mengontontrol hawa nafsu.
“Ketika orang-orang sudah bebas dari dorongan-dorongan hawa nafsu, tentunya manusia akan kembali ke naturalnya, bahwa kita semua ini adalah sama, tidak boleh terpecah-pecah,” ujar dia.
Ia juga menyinggung polemik dan permusuhan yang kerap terjadi yakni terkait pembatasan operasional rumah makan selama bulan Ramadan.
Menurutnya hal ini terjadi ketika seseorang gagal memaknai dan memahami fungsi Ramadan.
“Padahal ini hubungan dengan Tuhan, sehingga tidak harus dihargai oleh orang lain,” katanya.
Tindakan pemaksaan, dengan melakukan penutupan operasional sejumlah rumah makan sebagai fanatisme kosong, tanpa ilmu.
Hal itu seharusnya diredam, agar tidak semakin menimbulkan perpecahan suku, ras, budaya dan khusunya agama di tengah pluralisme bangsa.
“Saya pikir apapun itu harus ilmu. Jadi orang yang fanatik itu harus belajar, membaca lebih banyak. Karena di dalam agama itu ‘agama itu adalah akal’. Artinya, tidak ada agama bagi orang yang tidak punya akal,” katanya.
Sering kali masalah di tengah masyarakat yang terkait dengan agama dan persatuan umat, diakibatkan oleh penceramah yang menganggap dirinya memiliki ilmu agama yang mumpuni, padahal sebenarnya tidak.
“Karena orang kalau sudah punya ilmu tentunya tidak akan fanatik, enak untuk diajak berbicara,” ujar dia.
Ia berpesan seluruh masyarakat di bulan suci Ramadan, agar bisa bersama-sama menyadari bahwa bangsa Indonesia ini sangat beragam.
Di mana masyarakat diminta untuk tidak merasa diri paling benar, yang pada akhirnya justru malah merusak keindahan negeri yang beragam.
“Kita hidup di dalam satu komunitas yang berbeda-beda. Karena perbedaan ini adalah suatu keniscayaan,” kata dia.
“Jangan sampai perbedaan itu menjadi saling menjatuhkan dan saling menimbulkan persoalan antara yang satu dengan yang lainnya,” lanjut dia.
1 komentar