JAKARTA – Sejak era pandemi Covid-19, masyarakat Indonesia mengalami kondisi ‘mendadak digital’. Akibatnya, masyarakat seakan belum siap untuk hidup dan bermasyarakat di dua dunia, yakni dunia maya dan dunia nyata.
Demikian diungkapkan Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, di Jakarta, Sabtu (30/7).
Devie mengatakan, masyarakat juga harus dituntut untuk menjadi manusia digital, memiliki empat aspek dalam dirinya agar mampu hidup dan bersosialisasi dengan baik khususnya di ruang dunia maya yaitu keterampilan, etika, budaya, dan keamanan digital.
“Kita mendadak digital, dan kita tidak siap harus hidup di dua dunia, baik dunia maya dan dunia nyata. Kalau sopan santun, tata krama di dunia nyata kan kita dari kecil sudah dilatih, tapi kehiduan di ruang digital kita belum tahu bagaimana cara hidupnya,” ujarnya.
Menurut Devie, jika empat aspek yang dimaksud dikuasai masyarakat, maka masyarakat akan aman dan nyaman. Karena itu, tidak hanya menekan pada aspek keterampilan, tapi lupa aspek etika, budaya dan keamanan digital.
“Empat hal itu sebagai pilar yang wajib dikuasai kalau ingin hidup paripurna dan sempurna di ruang digital,” katanya.
Baca Lagi: FKPT Lampung: Indonesia Butuh Gerakan Hijrah dari Narasi Kebencian
Saat ini, kata Devie, sering dijumpai kasus dan fenomena yang cukup miris, dimana banyak tokoh dan elite yang justru membuat kegaduhan di jagad maya melalui narasi kebencian, bahkan menjurus pada perpecahan di masyarakat.
Semakin diperparah dengan karakter sosial masyarakat Indonesia, yaitu patron-klien atau ‘lokomotif-gerbong’, yang membuat masyarakat cenderung lebih sering mengikuti apa yang dicontohkan oleh elite, penguasa, atau pemimpinnya.
Elit Harus Lebih Dulu Cakap Digital
Devie menjelaskan, elit merupakan kelompok yang dicirikan dengan empat K, yaitu kekuasaan, kekayaan, ketenaran, dan kewibawaan yang dalam hal ini tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat.
Kelompok 4K, menurutnya merupakan kelompok yang berperan besar dalam percepatan hijrah dari narasi kebencian menuju jagad maya yang positif.
“Orang 4K atau elite ini harus yang duluan kita bantu, agar memiliki sikap yang paripurna di ruang digital, yang kita sebut dengan cakap digital. Begitu 4K ini punya kecakapan digital tadi, Insya Allah masyarakat kita akan ngikut dan lebih mudah,” katanya.
Ia menilai, fenomena para elite dan tokoh yang terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hingga ke meja hijau akibat narasi kebencian.
Bukan semata-mata karena lemahnya regulasi pemerintah terkait ujaran kebencian di ruang digital. Tetapi lebih dari itu Devie menegaskan, perlu adanya dukungan terkait program pemerintah yang mendorong terciptanya masayarakat yang cakap digital.
“Bukan karena lemahnya regulasi, tapi kita semua gagap digital. Semua orang tak ada yang siap dan perlu belajar. Makanya negara punya program yang namanya ‘makin cakap digital’ supaya orang punya etika, budaya, keterapilan, dan keamanan digital,” ujar dia mengakhiri.
2 komentar