Meluruskan Makna Doktrin Al Wala’ Wal Bara’ yang Dipopulerkan Kelompok Radikal

Nasional103 Dilihat

JAKARTA – Kelompok radikal, masih begitu gencar membawa semacam doktrin Al Wala’ Wal Bara’ sebagai legitimasi pembenar ajaran (eksklusifisme). Bahwa umat Islam hanya boleh loyal atau bersaudara sesama umat Islam Al Wala’ (loyalitas) sesama umat Islam. Sedangkan terhadap mereka yang non-muslim, harus bersikap Wal Bara’ (melepas diri) atau bermusuhan.

Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Darud Da’wah Wal Irsyad (PB DDI), Muhammad Suaib Tahir, memandang miris penyempitan makna yang dilakukan kelompok radikal terkait ungkapan Al Wala’ Wal Bara’ tersebut.

Padahal sejatinya ungkapan tersebut memiliki makna yang mulia untuk tuntunan umat agar loyal memperjuangkan kebaikan bersama, terlepas dari perbedaan suku, ras, dan agama.

“Kesalahan sebagian orang adalah karena makna ini diartikan secara terbatas. Kenapa? Karena sesungguhnya kita juga memang harus loyal kepada agama kita, tetapi dalam arti bukan berarti bahwa kita harus memusuhi yang lain,” ujarnya di Jakarta, Kamis (15/9).

Dirinya melanjutkan, Al Wala’ dan Wal Bara’ sendiri berasal dari bahasa Arab. Al Wala’ artinya loyalitas, sedangkan Wal Bara’ memiliki makna melepaskan diri.

“Artinya, sebagai muslim harus loyal kepada umat Islam dan tidak boleh loyal kepada mereka yang bukan muslim,” katanya.

Istilah itu, lanjut dia, begitu populer ketika keruntuhan kekhilafan Islam atau pada pasca penyerangan Mongolia ke negara-negara Islam di Timur Tengah.

Kemudian kemunculan penguasa baru pada saat itu, menimbulkan pertanyaan di masyarakat apakah mereka (penguasa) merepresentasikan Islam, dan apakah harus loyal kepada pemerintah.

Namun ia melihat, dewasa ini ungkapan tersebut menjadi doktrin negatif yang mendominasi banyak kelompok radikal. Dimana mereka memandang Al Wala’ Wal Bara’ hanya semata-mata untuk orang muslim saja. Sementara yang bukan muslim tidak perlu loyal, bahkan mengganggu dan mengancam, karena menganggap bukan bagian dari mereka.

“Itu adalah suatu kekeliruan tentang memaknai Al Wala’ Wal Bara’,” ujar dia.

Padahal didalam ajaran Islam sendiri, tidak ada batasan dalam pergaulan. Karena sejatinya manusia memiliki hubungan hak dan kewajiban dengan manusia lainnya, terlebih dalam hal yang bersifat kepentingan umum.

”Di dalam Islam tidak ada batasan pergaulan. Orang mau bergaul sama siapa pun tidak ada masalah,” ujarnya.

Menurutnya, di era sekarang ini manusia hidup dalam satu negara, hidup dalam satu komunitas yang tentunya tidak boleh membatasi diri dalam bergaul hanya sesama muslim saja.

Menurut dia, membentuk perbedaan-perbedaan sosial tidak bagus. Termasuk dalam kasus penolakan pembangunan rumah ibadah umat non-muslim.

“Kita di Indonesia yang juga ada banyak orang Kristen, kemudian ingin mendirikan gereja yang selama itu sudah memenuhi ketentuan-ketentuan. Kita tidak mesti harus melarang selama dia sudah memiliki legalitas. Kenapa mesti harus dilarang? Undang-Undang sudah menjamin hal itu, jadi jangan hanya maunya sendiri,” katanya.

Ia berharap, semestinya organisasi masyarakat (ormas) dan para tokoh-tokoh moderat dapat berperan guna meluruskan dan menetralisir doktrin keliru dari Al Wala’ Wal Bara’.

Tak hanya itu, ia menilai masyarakat berhak mendapatkan penjelasan yang benar terkait konsep dan doktrin tersebut, agar tidak terjerumus kepada perilaku serta justifikasi untuk melakukan tindakan kekerasan.

“Kita harus menjelaskan makna yang sebenarnya tentang jihad, hijrah, syahid, Al Wala’ Wal Bara’. Bukan penjelasan yang dibuat atau yang didoktrinkan oleh kelompok radikal yang menyesatkan,” ujar dia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 komentar