PALANGKA RAYA – Indonesia, sebagai negara dengan lebih dari 360 suku bangsa, kaya akan kearifan lokal yang menjadi identitas budaya. Namun, tantangan muncul dari pandangan ekstremis yang memisahkan kearifan lokal dari nilai-nilai agama, mengklaim bahwa hal tersebut dapat menimbulkan deislamisasi dan pendangkalan aqidah. Pemahaman ini perlu diluruskan agar tidak memicu perpecahan di tengah keberagaman masyarakat.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Tengah, Prof. Khairil Anwar, menegaskan seorang muslim sejati dapat menjalankan agama sambil menghargai kearifan lokal.
Ia merujuk pada falsafah Huma Betang, rumah panjang Suku Dayak yang mencerminkan nilai hidup rukun dan kesetaraan antar keluarga, meskipun berasal dari latar belakang dan agama yang berbeda.
Baca Juga: Umar Patek Meluncurkan Bisnis Kopi ‘Ramu Kopi’: Dari Teroris Menjadi Pengusaha
“Di Rumah Betang, kita menemukan harmoni dalam perbedaan,” ujarnya di Palangka Raya, Jumat (18/10/2024).
Khairil menekankan pentingnya nilai-nilai luhur dari kearifan lokal, seperti musyawarah dan gotong royong, yang sejalan dengan ajaran Islam.
Ia mengingatkan bahwa ketakutan akan deislamisasi tidaklah logis, mengingat sejarah penyebaran Islam oleh Walisongo yang berhasil mengintegrasikan budaya lokal.
Sunan Kalijaga, misalnya, menggunakan wayang sebagai media dakwah, menjadikan ajaran Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat yang mayoritas non-Islam pada saat itu.
Moderasi beragama, menurut Khairil, harus mencakup akomodasi terhadap kearifan lokal asalkan tidak bertentangan dengan prinsip agama.
Baca Lagi: Pembongkaran Jaringan Narkoba Besar di Jambi: Polri Perkuat Komitmen Penanggulangan
Ia mendorong toleransi antar umat beragama dan menolak klaim bahwa satu tradisi lebih baik dari yang lain. “Pancasila dan UUD 1945 menjamin kepercayaan masing-masing,” katanya.
Sebagai contoh konkret, Khairil menunjukkan Tarian Manasai dari Suku Dayak. Meskipun tari ini awalnya dilakukan dengan pakaian terbuka, kini banyak penari yang mengenakan jilbab sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai Islam.
“Ini adalah bentuk islamisasi yang tidak menghilangkan budaya asli,” kata Khairil.
Dalam menghadapi modernisasi dan kemajuan teknologi, ia menekankan perlunya keseimbangan antara nilai spiritual dan etika.
“Merangkul kearifan lokal bukan berarti menanggalkan prinsip syariat, tetapi justru memperkuat akar Islam dalam kehidupan sehari-hari,” tutup Khairil.
Dengan merangkul kearifan lokal, Indonesia tidak hanya bisa mempertahankan nilai budaya tetapi juga memperkuat identitas keislaman yang harmonis.
1 komentar