JAKARTA – Pencegahan terorisme membutuhkan upaya dari semua pihak. Jaringan terorisme yang luas, hanya bisa dihentikan jika seluruh elemen bangsa bekerja sama.
Hal tersebut disampaikan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, pada acara peringatan 20 tahun bom Bali bertajuk tema ‘Harmony in Diversity’ di Merusaka Hotel Bali, Rabu (12/10/2022).
“Kita tidak bisa bekerja sendiri. Mengapa? Karena jaringan (teroris) di luar kemampuan kita. Kita harus bekerja satu dengan yang lainnya. Kita bekerja sama kemudian kita sukses,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (14/10/2022).
Tito mengatakan, peristiwa Bom Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002 silam, merupakan serangan teroris kedua mematikan setelah tragedi 9/11 pada 11 September 2001 di Amerika Serikat.
Bom Bali setidaknya menewaskan lebih dari 200 orang dan lebih dari 2.000 orang luka-luka. Dimana peristiwa tersebut, Indonesia menerima banyak bantuan dari negara-negara sahabat.
“Bantuan pertama datang dari Australia, disusul oleh United Kingdom (UK), Selandia Baru, Singapura, Malaysia, Filipina dan negara lainnya,” katanya.
“Seluruhnya menawarkan bantuan kepada kita, karena lagi-lagi Indonesia mempunyai ‘kawasan hijau’ bagi para pelaku teroris. Apa motif di balik serangan dan sebagainya? Padahal sebelum terjadinya serangan bom Bali 12 Oktober 2002, kita telah mendapat sejumlah peringatan,” lanjut dia.
Ia menambahkan, sebelum insiden Bom Bali, serangan teroris juga terjadi di Mall Atrium Jakarta. Perbedaan agama disinyalir sebagai pemicu serangan teroris tersebut, karena lantai atas mall saat itu digunakan oleh komunitas Nasrani untuk melakukan kegiatan layanan.
Karena itu, penyangkalan terhadap agama tertentu diduga menjadi penyebab terjadinya serangan bom di Bali. Menurut Tito, pelaku terorisme tersebut bukanlah jaringan biasa, melainkan jaringan teroris internasional yang melibatkan organisasi seperti militan Islam di Asia Tenggara, Jemaah Islamiyah.
Selain itu, bangkitnya ISIS juga memberikan dampak bagi dinamika terorisme di Indonesia. Kendati demikian, Tito mengapresiasi pihak-pihak yang telah berjuang dan bekerja sama melawan terorisme, seperti Densus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Karena itu, kata Tito, dibutuhkan sinergi dan kerja sama dari segala pihak, termasuk orang-orang dan organisasi yang mau berbicara lantang dalam mendukung pencegahan terorisme.
“Tapi sekali lagi, di negara ini kita tidak bisa bekerja sendiri. Kita perlu melakukan operasi apa pun. Kita membutuhkan setidaknya dua pilar. Nomor satu adalah hukum legitimasi, semuanya harus sesuai dengan aturan hukum sebagai masyarakat demokrasi. Dan nomor dua adalah legitimasi sosial itu. Kita membutuhkan dukungan publik untuk melakukan segalanya,” ujarnya.
Tito mengingatkan dalam situasi saat ini, Indonesia juga harus berhati-hati karena kekerasan dan ekstremisme belum berakhir. Karenanya, Indonesia harus memperkuat kebersamaan.
Sebab, tujuan akhir dari terorisme bukanlah membunuh, menghancurkan, atau menggunakan bom. Namun, mengambil alih kekuasaan atau setidaknya ingin mengubah sistem.
“Maka kita harus menjaga sistem sebagai negara yang harmonis dalam keragaman, persatuan, dan keragaman,” kata dia.
Dalam kesempatan itu, Tito menyampaikan rasa simpati terdalamnya bagi para korban yang selamat maupun keluarga korban yang meninggal.