JAKARTA – Dalam upaya memperkuat pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan, Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Kemenko Polkam) melalui Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM telah mengadakan rapat koordinasi.
Rapat ini bertujuan untuk menindaklanjuti rekomendasi Menko Polkam terkait pembentukan wadah pelaporan tindakan ekstremisme di lingkungan perguruan tinggi.
Dengan kehadiran lembaga-lembaga penting seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), langkah ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan akademik yang aman dan terhindar dari ideologi radikal.
Asisten Deputi Koordinasi HAM, Brigjen TNI Ruly Chandrayadi, mengatakan ekstremisme berbasis kekerasan menjadi isu global yang memerlukan perhatian serius, terutama di kalangan generasi muda di perguruan tinggi.
Baca Juga: Menghadapi Tantangan Zaman: Refleksi Hari Pahlawan bagi Pemuda Indonesia
Dengan meningkatnya pengaruh ideologi ekstremis, perlu adanya langkah konkret untuk melindungi mahasiswa dan lembaga pendidikan dari pengaruh negatif tersebut.
“Pada Agustus 2024, Menko Polkam telah mengeluarkan rekomendasi kepada kementerian terkait untuk menerbitkan regulasi yang menjadi landasan hukum bagi perguruan tinggi dalam membentuk wadah pelaporan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme,” ujar Ruly dikutip dari laman polkam.go.id, Senin (11/11/2024).
Rencana ini akan mengintegrasikan mekanisme perlindungan bagi saksi, korban, dan pelapor, yang merupakan aspek penting dalam mendorong orang-orang untuk melaporkan tindakan ekstremisme tanpa rasa takut.
Kebijakan dan Regulasi Terkait
Dalam rapat tersebut, perwakilan dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi mengkonfirmasi bahwa rekomendasi tersebut telah ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2024.
Peraturan ini, yang diundangkan pada 14 Oktober 2024, menggantikan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 dan menjadi landasan hukum untuk mencegah dan menangani kekerasan di lingkungan perguruan tinggi.
Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 memberikan panduan yang jelas bagi perguruan tinggi dalam membentuk wadah pelaporan ekstremisme berbasis kekerasan. Ini akan membantu menciptakan saluran komunikasi yang efisien antara mahasiswa dan pihak berwenang, sehingga laporan mengenai tindakan ekstremisme dapat ditangani dengan serius dan tepat.
Selain Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama juga berperan penting dalam upaya pencegahan ekstremisme. Kementerian Agama mengumumkan rencana untuk merevisi Keputusan Menteri Agama Nomor 93 Tahun 2022 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penguatan Moderasi Beragama bagi Pegawai Negeri Sipil Kementerian Agama.
Revisi ini bertujuan untuk memperluas fungsi “rumah moderasi” agar berfungsi sebagai wadah pelaporan ekstremisme di perguruan tinggi di bawah naungan Kementerian Agama.
Kementerian Agama menyadari bahwa pendidikan agama yang moderat dapat menjadi senjata ampuh dalam mencegah penyebaran ideologi ekstremis. Dengan memperkuat moderasi beragama, diharapkan mahasiswa dapat lebih kritis dalam menyikapi isu-isu yang mengarah pada ekstremisme.
Strategi dan Implementasi
Pembentukan wadah pelaporan ekstremisme di perguruan tinggi juga harus diiringi dengan sosialisasi dan edukasi yang memadai.
Mahasiswa harus diberikan pemahaman tentang apa itu ekstremisme dan bagaimana cara melaporkannya. Sosialisasi ini bisa dilakukan melalui seminar, workshop, maupun kampanye di media sosial yang melibatkan mahasiswa.
Implementasi regulasi tersebut juga memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat, orang tua, dan pihak kampus.
Keterlibatan berbagai elemen ini akan memperkuat jaringan pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan.
Kemenko Polkam bersama BNPT dan LPSK perlu menyusun program-program yang menarik bagi mahasiswa, sehingga mereka merasa terlibat dalam upaya pencegahan ekstremisme.
Salah satu aspek krusial dalam pembentukan wadah pelaporan adalah perlindungan bagi saksi dan pelapor. Tanpa perlindungan yang memadai, orang-orang yang melihat atau mengalami tindakan ekstremisme mungkin enggan untuk melaporkan.
Regulasi yang diusulkan oleh Kemenko Polkam mencakup mekanisme perlindungan yang jelas, sehingga pelapor dapat merasa aman dan terlindungi.
LPSK memiliki peran penting dalam memberikan perlindungan ini. Mereka akan bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk memastikan bahwa setiap laporan yang masuk akan ditangani dengan baik dan pelapor tidak akan mendapatkan tekanan atau ancaman dari pihak manapun.
Tantangan yang Dihadapi
Meskipun langkah-langkah ini sangat penting, tantangan dalam implementasi wadah pelaporan ekstremisme berbasis kekerasan di perguruan tinggi cukup besar.
Salah satu tantangan utama adalah stigma sosial terhadap tindakan pelaporan. Beberapa individu mungkin merasa takut untuk melaporkan tindakan ekstremisme karena khawatir akan reperkusi dari rekan-rekan mereka atau bahkan dari masyarakat umum.
Oleh karena itu, penting untuk menciptakan budaya yang mendukung pelaporan. Hal ini dapat dicapai dengan cara mengedukasi masyarakat tentang pentingnya melaporkan tindakan ekstremisme dan menjelaskan bahwa pelaporan tersebut dapat menyelamatkan nyawa dan mencegah tindakan kekerasan di masa depan.
Beberapa negara di dunia telah berhasil membangun sistem pelaporan ekstremisme yang efektif di lingkungan pendidikan. Misalnya, di Jerman, ada program yang dikenal sebagai “HATE” (Hate and Extremism Awareness Training) yang memberikan pelatihan kepada siswa dan staf tentang bagaimana mengenali dan melaporkan tindakan ekstremisme.
Di Inggris, terdapat “Prevent Strategy” yang bertujuan untuk menghentikan individu dari terlibat dalam kekerasan ekstremis. Program ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk sekolah, universitas, dan lembaga pemerintah, untuk bekerja sama dalam menangani isu ekstremisme.
Mengadopsi pendekatan yang serupa di Indonesia, dengan mengadaptasi metode yang terbukti efektif di negara lain, mungkin dapat membantu dalam membangun wadah pelaporan ekstremisme yang lebih efektif.
Dengan adanya regulasi dan wadah pelaporan ekstremisme berbasis kekerasan di perguruan tinggi, diharapkan akan tercipta lingkungan akademik yang lebih aman dan inklusif. Ini juga menjadi langkah awal untuk membangun kesadaran kolektif dalam masyarakat tentang bahaya ekstremisme.
Upaya pencegahan ekstremisme tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama. Mahasiswa, dosen, dan masyarakat harus berkolaborasi dalam menciptakan lingkungan yang menolak segala bentuk kekerasan dan ekstremisme.
1 komentar