Pancasila: Kunci Persatuan di Tengah Ancaman Intoleransi dan Ekstremisme

Nasional743 Dilihat

JAKARTA – Setiap tahun, Hari Kesaktian Pancasila menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk merenungkan kembali nilai-nilai yang menjadi pemersatu di tengah ancaman intoleransi dan ekstremisme yang kian mengemuka.

Dalam pernyataannya pada acara peringatan tersebut, Alissa Wahid, Direktur Nasional GusDurian Network Indonesia dan Ketua Tanfidziyah PBNU, menegaskan bahwa menjaga keseimbangan identitas adalah kunci untuk menangkal fanatisme berlebihan.

Alissa menyebutkan bahwa penggunaan kerangka konstitusi dalam merespons isu-isu sensitif terkait keberagaman sangatlah penting.

Baca Juga: Olahraga sebagai Wadah Perlawanan Terhadap Ekstremisme dan Terorisme di Indonesia

“Konstitusi adalah ukuran yang jelas dan universal dalam menyikapi keberagaman,” ujarnya di Jakarta, Kamis (3/10/2024).

Ia mendorong semua pihak untuk menggunakan ruang dialog yang ada, mengedepankan toleransi, dan menolak segala bentuk tindakan yang melanggar hukum, menciptakan semangat merawat kebangsaan.

Menghadapi Narasi Intoleransi

Dalam analisisnya, Alissa mengkritik pemuka agama yang seringkali menyebarkan narasi intoleransi untuk meningkatkan antusiasme jamaahnya.

Ia mengingatkan bahwa penting untuk menempatkan ajaran agama dalam konteks kemanusiaan dan kewarganegaraan.

“Ketika ada ajakan untuk mendahulukan semangat beragama, tetapi menganggap sesama sebagai musuh, sebaiknya dihindari,” tegasnya.

Alissa juga menggarisbawahi perlunya prioritaskan aturan negara ketika bertentangan dengan ajaran agama tertentu.

Dalam pandangannya, tidak boleh ada tindakan yang merugikan hak umat beragama lainnya hanya karena dalih agama.

Baca Lagi: TNI Peduli Pendidikan: Kunjungan Spesial ke Sekolah Darurat Kartini

Kunci untuk menghindari fanatisme berlebihan, menurut Alissa, terletak pada keseimbangan tiga identitas: sebagai penganut agama, sebagai warga negara, dan sebagai bagian dari umat manusia.

“Penting untuk selalu mengingat bahwa kita adalah satu kesatuan yang utuh,” katanya.

Dalam konteks ini, Pancasila harus terus dijunjung tinggi sebagai ideologi pemersatu yang dapat mengakomodasi keberagaman dan menangkal ekstremisme.

Dengan menumbuhkan toleransi antara identitas agama, kewarganegaraan, dan kemanusiaan, harapannya masyarakat Indonesia bisa lebih resisten terhadap ancaman polarisasi yang dapat merusak persatuan.

 

Kekerasan Berbasis Agama: Pandangan Holistik

Walaupun pelaku kekerasan berbasis agama di Indonesia sering kali berasal dari latar belakang Islam, Alissa menegaskan bahwa ekstremisme bukanlah monopoli satu agama.

Ia menyoroti fenomena serupa yang terjadi di negara-negara dengan mayoritas agama tertentu, seperti kekerasan yang dilakukan kelompok Buddhis di Myanmar dan Hindu di India.

“Kekerasan berbasis agama harus dilihat dengan komprehensif,” ujarnya, mendorong semua pemuka agama untuk memprioritaskan moderasi beragama di lingkungan mereka.

Hal ini penting agar masyarakat tidak gagap dalam menghadapi perbedaan, serta dapat merespons dengan bijaksana terhadap upaya polarisasi.

Mengakhiri pernyataannya, Alissa mengutip Mahatma Gandhi, “an eye for an eye will make the world blind.” Ia menekankan pentingnya menghindari balas dendam yang hanya akan mengakibatkan penderitaan tanpa akhir.

Dengan mengedepankan dialog, toleransi, dan rasa saling menghormati, kita bisa menjaga keutuhan bangsa Indonesia, menjadikan Pancasila sebagai landasan dalam merawat keragaman yang ada.