JAKARTA– Komisi Nasional (Komnas) HAM mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), Komisi 1 dan Komisi 3 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, meminta penundaan pembahasan Perpres tugas TNI dalam mengatasi terorisme di tanah air.
Komisioner Komnas HAM, M. Choirul Anam, mengatakan ada sejumlah subtansi yang bermasalah salah satu adalah pasal 2 dalam Perpres, utamanya soal penangkalan karena bisa terjadi tumpang tindih dengan lembaga lain yaitu BIN, BNPT, dan Polri.
“Karena fungsi penangkalan erat kaitan dengan mencari informasi dan melakukan analisa. Tentu akan menabrak kewenangan lembaga negara yang punya fungsi penangkalan tersebut,” ujar dia di Jakarta, Sabtu (21/11/2020).
“Fungsi penangkalan jika dilakukan TNI dalam penanganan terorisme justru dapat menganggu profesionalitas TNI itu sendiri,”Anam menambahkan.
Untuk fungsi pemulihan, lanjut Anam, sebenarnya merupakan kewenangan lembaga negara yaitu BNPT dan LPSK yang melindungi korban teror dan lainnya. Karena itu, Perpres tersebut kelihatan ‘sapu jagat’ yaitu mengurusi semua persoalan yang sebenarnya sudah ada lembaga yang berwenang dalam soal penangkalan dan pemulihan.
Oleh sebab itu, pihaknya merekomendasikan pelibatan TNI hanya pada penindakan, karena TNI memiliki kapasitas dengan pasukan khususnya melakukan tindakan koersif pada kelompok teroris.
“Artinya pelibatan TNI hanya bersifat ad hoc, terbatas pada skala tertentu dan batas waktu tertentu,” kata dia.
Sementara, Direktur Pascasarjana Diplomasi Universitas Paramadina, Shiskha Prabawaningtyas, mengatakan untuk menunda pemberlakuan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, karena masih ada “hole” atau belum selesai RUU Perbantuan TNI dan Peradilan Militer.
“Ditunda. Selesaikan RUU Perbantuan Militer dan Peradilan Militer terlebih dahulu untuk menjamin kepercayaan publik,” ujarnya.
Shiskha juga mengemukakan potensi masalah baru atas hubungan Pusat dan daerah, karena pada Perpres Pasal 14 disebut pendanaan operasi militer bisa dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN,) anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan sumber pendanaan lain. Sedangkan TNI saat ini dibiayai oleh APBN sesuai UU yang berlaku.
“Potensi benturan kepentingan (clash of intetest) dan dominasi politik praktis atas hukum (rule of law) Pada Pasal 1 (criminal justice system vs war-military operation),” katanya.