JAKARTA – Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Julius Ibrani, mengatakan sejak awal, dari segi substansi revisi UU TNI dan UU Polri banyak bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, dan lebih banyak melebar pada persoalan-persoalan kebutuhan politik dan bisnis.
Hal itu dikatakan Julius menanggapi pernyataan pembatalan pembahasan revisi UU TNI dan Polri oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Jakarta, Selasa (27/8/2024).
Menurut dia, revisi UU TNI dan UU Polri tidak membahas persoalan-persoalan yang lebih mendesak, seperti jenjang karier, promosi, dan mutasi. Saat ini ada pembengkakan di kelompok perwira kelas menengah.
Baca Juga: Mahasiswa harus Mengenali Ciri Penyebaran Radikalisme, Terorisme, dan Intoleransi
“Satu-satunya alasan yang bisa kita lihat dalam cepatnya jalan (pembahasan revisi) UU TNI dan Polri itu adalah alasan politis, dimana Indonesia menghadapi Pilkada menjelang akhir tahun ini pasca pilpres dan pileg kemarin,” kata dia.
“Ketika pilkada-nya buyar akibat putusan MK nomor 60, sudah bisa diprediksi penguasaan terhadap TNI dan Polri yang ditujukan pada kepentingan politik ini menjadi buyar,” lanjut dia.
Oleh sebab itu, revisi UU TNI dan UU Polri tidak lagi menjadi prioritas untuk didorong. Menurut dia lagi, yang menjadi urgensi adalah merevisi kewenangan-kewenangan yang melampaui dan tidak sesuai mandat reformasi dan konstitusi, baik di UU TNI dan UU Polri.
Julius mencontohkan, dalam UU TNI yang harus direvisi adalah TNI harus kembali ke barak. “TNI tidak boleh berada di ruang sipil. TNI hanya boleh bergerak pada operasi militer perang dan operasi militer non-perang,“ katanya.
Baca Lagi: Terpadunya Kebijakan, Cara Efektif BNPT RI dalam Penanggulangan Terorisme?
Salah satu yang akan direvisi dalam UU TNI yang dianggap akan memperluas peran TNI di ranah sipil adalah perubahan bunyi pasal 3 ayat 1 dan 2. Ayat 1, sebagai contoh, yang saat ini berbunyi, “Dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden” akan diubah menjadi “TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di bawah Presiden”.
Dua pasal lainnya yang diubah dalam revisi tersebut, yakni Pasal 47 dan Pasal 53. Penambahan kalimat pada pasal 47 ayat 2 “kementerian dan lembaga membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden” bisa membuka peluang prajurit aktif mengisi jabatan di semua kementerian atau lembaga.
Baca Lagi: Pengamalan Pancasila, Memelihara Keberagaman dan Meniadakan Intoleransi
Sementara yang disorot dalam revisi UU Polri adalah soal kewenangan polisi dalam mengawasi ruang siber dan memblokir Internet.
Menurut Julius, kewenenagn itu berpotensi mematikan ekspresi masyarakat di ruang siber dan bisa memicu penyalahgunaan wewenang.
Sebelumnya, Ketua Baleg DPR, Wihadi Wiyanto, mengatakan pihaknya memutuskan untuk membatalkan pembahasan revisi UU TNI dan Polri, tanpa mengungkapkan alasan.
“Nanti kita akan sampaikan ini (revisi UU TNI dan UU Polri) akan dilanjutkan untuk DPR (periode) yang berikutnya, tetapi ini dilihat urgensinya nanti. Jadi Baleg DPR memutuskan untuk tidak membahas dulu dan menunda atau membatalkan keputusan untuk membahas UU TNI-Polri,” katanya.
Menurut Wihadi, pemerintah belum mengirimkan daftar inventaris masalah terkait dengan revisi UU TNI dan Polri tersebut.